23 Maret 2009

kebersamaan

Kenapa aku ingin menulis

“Menulis bukan tentang berpikir, melainkan tentang menumpahkan perasaan”
Melatih diri kita untuk menulis membantu kita berkomunikasi dengan diri kita sendiri, dengan menulis (terutama mengenai pemikiran dan uneg-uneg kita) kita membuka pintu dialog dengan hati kita, yang berisi akumulasi pengalaman, keinginan dan suara-suara lirih yang sering kita hiraukan dalam hingar-bingar kehidupan yang bernama intuisi. Jika kemampuan berbicara melatih diri untuk berkomunikasi dengan orang lain, menulis selain juga bisa digunakan untuk bertukar ide dan pemikiran, tapi menurutku juga bisa digunakan untuk sarana berkeluh kesah kepada diri sendiri. Karena satu-satunya yang tidak bisa kita bohongi adalah hati kita, maka dengan menulis membantu kita menselaraskan keinginan antara hari dan pikiran, itulah sebabnya banyak orang menulis diary.

Selain sebagai sarana untuk berkontemplasi, menulis juga mengasah otak untuk mengkomunikasikan ide dalam susunan tata bahasa yang baik, yang bisa dimengerti orang dan bisa mempengaruhi orang lain. Karena dunia ini digerakan dengan pemikiran, bukan gravitasi. Manusia merevolusi cara pemikirannya dengan bantuan karya tulis. Itulah sebabnya mengapa Membaca (tulisan orang lain) adalah jendela dunia.

Coba pikirkan, Kekuatan apa yang dapat merubah manusia dalam jangka panjang? Kekuasaan, Wilayah yang dikuasai, Pamor, Kontroversi ? Satu-satunya yang dapat merubah manusia di jangka panjang adalah karya tulis, manusia yang paling dikenang dan berpengaruh bukanlah yang memiliki daerah kekuasaan terluas, kemampuan militer yang tangguh, kekejaman atau lainnya. Lihatlah Alexander the great, wilayah yang setengah mati ditaklukannya akhirnya hanya dikenang lewat buku sejarah, lihatlah Adolf Hitler, meskipun ia menganggap kebangkitan bangsanya akan dicatat sejarah pada akhirnya ideologinya dikecam dan menjadi ikon kebutralan. Coba bandingkan dengan aristoteles, ibnu sina, Newton, Darwin, dsb. Mereka hanyalah manusia yang memiliki keterbatasan fisik dan kekuasaan tetapi dalam jangka panjang pemikiran mereka merubah cara kita memandang kehidupan, membawa perubahan dan perkembangan. Itulah sebabnya para Nabi sebagai utusan tuhan yang diwahyukan kitab suci kepadanya cenderung membawa dampak yang sangat besar pada kemanusiaan. Lihatlah Nabi Muhamad, Isa Almasih dan Musa. Mereka membentuk tiga agama besar yang dianut sebagian besar masyarakat dunia.

Coba ingat para pahlawan kita, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar dikenang jasa-jasanya? Bukankah hanya segelintir orang yang nama dan wajahnya dikenal oleh orang banyak? bagaimana dengan para pahlawan yang tak dikenal namanya, bukankah mereka juga sama-sama berjuang mempertaruhkan namanya demi bangsa? Kenapa kematian seribu prajurit takkan dikenang dunia sebagai pahlawan, tetapi kematian seorang jendral yang maju perang dengan gagah berani akan dikenang. Bukankah prajurit sama-sama berjuang mati-matian bersama jendralnya?, bukankah prajurit itu harusnya juga patut dikenang setiap individunya? Tapi mengapa hanya jendralnya saja? Menurutku itu karena seribu prajurit hanyalah pion yang digerakkan. Mereka tidakkan bermakna jika tidak ada satu orang yang mengkomando, dengan pemikirannya mengenai strategi perang untuk memenangi peperangan. Coba lihat juga orang-orang yang berjasa bagi perkembangan dunia. Bahkan jika seorang manusia menyumbangkan nyawanya demi kebaikan dunia, masa depan tidakkan mencatatnya sebagai pejuang kemanusiaan jika tidak ada bukti tertulisnya. Tetapi seberapa besar sumbangsih pemikirannya lah yang akhirnya dapat merubah cara pandang manusia ke tingkat yang lebih maju.

Oleh karena itu takkan ku biarkan uneg-uneg pemikiranku ini hilang dan mati bersamaku. Biarkan aku menulis, tak peduli bermanfaat atau tidak. Tak peduli apa yang aku tulis sudah ada sebelumnya atau tidak. Tak peduli apakah ada orang yang akan membacanya atau tidak. Setidaknya ada sesuatu yang aku sumbangkan kepada dunia. Meskipun ini hanya retorika saja, semoga dunia menjadi tempat yang lebih baik dimasa depan.

Arti Menunggu


    Aku pernah menulis bahwa kadang hal yang baik itu pantas untuk ditunggu (The Power of Cinta). Namun ucapan Mario Teguh semalam membangunkan aku dari lamunanku. Beliau berkata, hal hal yang baik datang bagi yang menunggu, tetapi tidak bagi yang menunggu terlalu lama. Yang aku sadari, mungkin aku terlalu lama menunggu sesuatu yang absurd, terlalu abstrak untuk diharapkan. Yang kuakui, apa yang kulakukan selama ini hanyalah menunggu dan berharap. Seperti kebanyakan masyarakat indonesia diluar sama yang telah kekenyangan menonton sinetron yang menjual mimpi. Aku sadari, aku telah jengah akan mimpi. Mimpi dan penundaan itu tidak bisa hidup dalam satu hati, mimpi dan penungguan itu tidak bisa disamakan dengan kata sabar, ia hanyalah alasan, alasan untuk mencekoki pikiran gundah ini dengan pil ekstasi yang bernama lamunan.
    Seperti kata pak mario, Melakukan atau tidak, memulai atau menunda, kedua-duanya menggunakan waktu, tapi hanya satu yang memiliki kesempatan untuk berhasil. Semanis apapun kita mendefinisikannya, mimpi itu selamanya hanya lamunan omong kosong bagi jiwa yang enggan keluar rumah berkeringat menjemputnya. Gagal atau tidak dalam mendapatkannya, sebenarnya tidak masalah. Karena keberuntungan itu lebih berpihak kepada yang kurang pandai tetapi banyak mencoba daripada kepada mereka yang pandai tetapi tidak bertindak apa-apa. Jika kita merasa takut dengan kegagalan dan penolakan, maka seharusnya janganlah berani untuk bermimpi. Jalani saja kehidupan yang membosankan ini dan matilah dalam penungguan hingga tidak ada orang lain yang menganggapmu penting.
     Fakta bahwa kita berani memimpikannya, seharusnya menyadarkan kita bahwa kehidupan yang disajikan dihadapan kita saat ini tidak memuaskan keinginan kita, bahwa ada sesuatu diluar daya upaya kita yang ingin kita miliki, namun saat ini belum bisa kita dapatkan karena suatu sebab diluar kehendak kita. Dari sini seharusnya menggugah kita untuk berharap dan melangkah keluar rumah mencari impian tersebut. Disinilah tempat aku terjelembab berulang kali. Aku sering marah pada diriku sendiri terhadap waktu yang kuhamburkan sia-sia dalam penantian yang terlalu lama, bahwa aku gagal meresapi pelajaran “membuat kesalahan dan bahkan gagal dalam melakukan sesuatu yang berguna adalah lebih baik daripada tidak pernah salah karena tidak melakukan apapun”. Menjadi perfeksionis itu tidak masuk akal, sepertinya aku lupa pelajaran dari tulisanku sendiri. 
    Bagaimanapun juga, kita tidak pantas mengharapkan sesuatu yang besar jika kita tidak berbuat yang pantas untuk menyambutnya. Arti menunggu itu akan menjadi benar jika kita juga mengupayakannya dengan usaha, bukan berpangku tangan mengharu biru dalam doa. Seperti peribahasa
“To accomplish great things, we must not only act, but also dream, not only plan, but also believe”

Im Back to Reality !!

Ahh, ternyata membangun komitmen itu tidak gampang. Dulu aku bertekad untuk menulis blog setiap dua hari sekali, lalu menjadi seminggu sekali, lalu menjadi kalau sempat, lalu menjadi lupa sama sekali. Alasan, alasan, alasan... Selalu mencari alasan pembenar, siapa sebenarnya yang coba aku tipu? Aku hanya menipu diri sendiri, membangun cita-cita(untuk menulis) melalui penundaan, toh akhirnya akan tergilas oleh waktu sendiri, Dan akhirnya aku harus membangun momentum itu mulai dari awal. Aku membangun blog ini dengan idealisme dan terpuruk karena idealismeku sendiri. Seandainya dunia ini diatur dengan Idealisme niscaya akan ada banyak dunia-dunia kecil yang saling berbenturan satu dengan lainnya, karena masing-masing manusia ingin membangun impian idealismenya sendiri-sendiri,yang akhirnya akan terbentur dengan idealisme orang lainnya yang bernama, Realitas...

Realitas itu takkan terelakkan dengan idealisme dan mimpi semata. Kita semua melihat hidup ini dengan mata kepala dan hati yang bernama perspektif. Warna yang sama akan terlihat berbeda oleh dua orang yang berbeda, begitulah kehidupan manusia memandang kehidupan. Toh pada akhirnya dunia ini penuh berisi "apa yang aku pikirkan" dan "apa yang penting bagiku". Sebuah sari individualisme yang tabu di negeri sosialisme (indonesia). Aku memberi judul tulisan ini "Im back to reality", sekedar ingin mengingatkan diriku sendiri, bahwa semanis apapun impian kita, semulya apapun harapan kita, seindah apapun niat kita, semua itu hanya retorika. Omong kosong yang menguap tak berbekas kedalam realitas kehidupan. Karena pada akhirnya, semua cita-cita itu harus dieksekusi, dijalankan. Membicarakan impian tanpa tindakan artinya hanya menertawakan nasib baik yang sudah menunggu didepan pintu kehidupan kita. Kita semua berhak untuk untuk bermimpi, tetapi hanya ada sedikit dari kita yang mau membayar keringat untuk menebus secarik mimpi itu ke realitas, oleh karena itu, "We should back to reality"...

Akhirnya, aku mencoba untuk menulis kembali, tertinggal waktu satu bulan lebih, kini ingin membangun momentum kembali. Semoga tulisan-tulisanku bisa menginspirasi teman-teman.
Aku sadari aku bukan motivator atau orang berpengaruh, dan sering kali kata-kata dari orang biasa sering diacuhkan atau dianggap skeptis. Tapi itu seharusnya kan tidak menghambat seseorang untuk berbuat kebaikan? Apakah kita harus menunggu kita menjadi orang hebat dulu baru mulai menebar kebaikan?
Jika kita ingin berbuat kebaikan mengapa harus membuat suatu syarat dan kondisi tertentu? Jika orang lain tidak menerima kebaikan kita lantas apakah pantas bagi kita untuk menyesali itu dan berhenti berbuat kebaikan? Bukankah itu artinya kita pamrih, mengharap pujian dan balasan (walaupun itu manusiawi)? Aku sendiri menganggap, toh Tuhan Yang Maha Melihat itu tahu tujuanku dan ada pepatah yang mengatakan "tidak ada balasan selain kebaikan bagi orang yang meberi kebaikan". Kurasa itu saja cukup bagiku untuk mulai menulis lagi...