21 Oktober 2008

Retorika

Sekarang aku mengerti apa arti hidup ini buatku. Aku tidak bisa merangkainya dengan kata puisi. Bagiku Hari ini arti hidup adalah untuk terus mencari makna dibalik setiap peristiwa. Kebijaksanaan didapat hanya dengan merenungkan perbuatan, bukan dari menyalahkan keaadaan. Mencari Jawaban memang perlu dilakukan dengan menyelesaikan setiap persoalan hidup, namun kebijaksanaan didapat dengan merenungkan makna dibalik setiap jawaban. Tapi mengapa kita perlu mencari kebijaksanaan?. Jawabanya bergantung kepada siapa orang yang ditanya. Bagiku, hanya dengan mencari kebijaksanaanlah hidup ini menjadi lebih bermakna, dan memang hanya kebijaksanaanlah yang bisa.
Aku masih ingat sebuah iklan yang mengatakan menjadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa itu adalah pilihan. Manusia adalah mahluk bembelajar, manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan kehendak bebas dengan kesadaran disertai akal sehat. Apabila seseorang selalu reaktif terhadap setiap peristiwa yang dialaminya, dan selalu menyalahkan semua kecuali dirinya adalah orang yang tidak mau bersikap dewasa (karena demikianlah aku waktu dulu). Kedewasaan itu penting karena kita tidak dapat menentang umur. Setiap detik kita bertambah tua, jika kita lebih memilih untuk tidak beranjak dewasa itu sama saja memasrahkan jalan hidup kita kepada keadaan, kita akan terombang-ambing oleh masalah dan tren yang ada. Kita tidak dapat melakukan langkah antisipatif dan prefentif, bukakah itu sama saja kita diperbudak oleh jaman?
Tapi apa arti kedewasaan itu?. Bagiku, kedewasaan adalah kemauan untuk menerima tanggung jawab dan mengamanatkannya dengan baik, dan bertanggung jawab bila lalai. Berhati-hati bila berucap namun tangkas dalam mencerna pembicaraan.
Kalau kupikir-pikir, aku telah menghabiskan masa laluku dengan menyalahkan, meratapi semua hal buruk dan memalukan yang telah kulakukan, selalu rendah diri, dan menutup diri dari segala kebaikan yang tersebar di bumi ini dengan merasa akulah orang termalang yang bernafas di planet ini. Kuterus mempecundangi diriku dengan mencekoki jiwa ini dengan segala hal negatif yang menampar mukaku. Hingga hitam sudalah hati ini. Kumerasa seperti pesakitan yang hidup enggan matipun takut, takut untuk mempertanggungjawabkan semua dosa yang berlumuran di tangan yang hina ini. Bahkan bernafaspun seperti menghirup gas beracun. Semua itu kulakukan entah mengapa, setiap kesalahan kecil yang kulakukan akan selalu mengiang-ngiang ditelinga seperti guntur, menyambar keras setiap aku melamun. Dan itu kulakukan terus menerus hingga tidak ada hawa kebahagian lagi yang mau hinggap di dada ini. Alangkah malangnya nasibku, itulah yang menjadi kata favorit sepanjang hari. Bahkan kini rasa seperti itu masih tetap tersimpan meski kadarnya sudah kucoba untuk terus dikurangi. Penyesalan adalah makanan bagi jiwaku dan mimpi palsu adalah kemana mataku tertuju setiap harinya. Begitulah perasaanku selama ini yang membusuk jauh dilubuk hatiku. Sampai suatu hari....
Entah kapan, beberapa tahun lalu kumemutuskan sesuatu yang takpernah kusesali seumur hidupku hingga hari ini. Kuberkata pada diriku, “ Duhai jiwaku, mengapa kau lakukan terus semua ini? Buat apa kau terus menikam dirimu dengan kepahitan yang sudah berlalu. Siapa yang diuntungkan? Bukankah kau akan menyesal sendiri hingga akhir hayatmu? Hidup harus terus berjalan, suka tau tidak, dunia ini tidak peduli akan kemalanganmu, tidak juga temanmu, terlagi keluargamu. Meraka semua akan terus berjalan kedepan, tak peduli kau mau terus menoleh kebelakang, tak ada yang peduli !!! Lalu buat apa semua ini? Kayu yang sudah terbakar menjadi arang takkan kembali lagi, meski kau tangisi hingga air matamu menjadi danau asin.

Tidak ada komentar: