20 Mei 2009

dengan menyebut namamu Tuhan,

kupanjatkan doa padamu Tuhan,
disepertiga helai malam terakhir
sekelumit pemikiran kini ramai berbicara
tidurkanlah kalbu hambamu yang resah

kubacakan ayat-ayat sucimu Tuhan
disela air mata yang berkisah  
meriwayatkan risalah kegelisahan
dalam jiwa senyap yang merayap diwaktu 

kucoba menyibak jelaga dengan menyebut namamu Tuhan,
mencari poros masalah yang mengembun sesakkan dada
adakah ini naluri rindu yang menusuk memburu mimpi,
Sebuah isyarat yang Engkau selipkan dimalam, agar aku terbangun?

bila puisi menari

bila puisi menari 
(kamu bisa memberi tanpa mencintai tapi tidak bisa mencintai tanpa memberi)

Mereka bilang puisi takkan menari
Jika tidak ada kekasih yang menyanyikan
Hati membiru kala ramu bait kata dari telaga rasa
Lalu apa artinya pesan jika tidak disampaikan

Mereka bilang puisi datang memelas rasa
Jika harapan terkapar tak berkesesuaian nyata
Rindu menangis di malam yang membisukan makna
Lalu apa artinya rasa jika hati tak mampu mengungkapkannya 

Mereka bilang puisi memperkosa cinta
Jika pujangga menodong pujaan hati dalam bait rayu
Berharap syair menumbuhkan rindu dihatinya
Lalu apa artinya secarik kertas penuh romantisme kata

Ah, dan mereka terus bilang bahwa aku gila
Tentu saja puisiku takkan bernyawa, ia hanya kata !!!
Syair yang tertangkap pena dari sisa luka angin malam
Lalu apa artinya menumpuk perih karena cinta tak berbalas

Untukmu para pujangga pencari cinta hakiki
Berhenti sembunyikan nyanyianmu hanya karena doa itu tak bersambut
Persembahkan syair dan usaplah pamrih itu dari mukamu
Buat apa memperumit gelora dengan kata, cinta takkan sembuh tanpa luka


h u j a n

h u j a n
Cinta adalah pilihan, nafsu adalah emosi

Cinta itu tak terdefinisi seperti hujan yang mendinginkan bumi. Rintik airnya memendarkan kesejukan pada tanah yang menangis meratapi musim kemarau. Lihatlah pada awan mendung, disana ada danau tempat cinta merenungi matahari yang membiaskan panas pada laut. Wahai angin, kemana takdir membawa hujan pergi. Dimana rintik-tintik air harus meluapkan rindu pada bumi dan pohon-pohon. Lihatlah disitu bumi telah mati, terkubur menjadi gurun. Sementara ditempat lain hujan menjadi badai dan bumi menjadi banjir

Angin, tanah, dan embun. Kalian sering membasuhi cahaya pagi dengan janji malam. Padahal gelap malam itu sering membawa kesesatan pada harapan. Jangan biarkan mimpi itu merayumu pada kata-kata berbau surga. Cinta itu hujan, dan awan itu membawa rindu pada angin. Panjatkanlah doa pada langit agar hujan menurunkan kembali kesejukan. Duhai tuhan, jangan kau tutupi hati dengan kemalangan. Sesungguhnya tanah sudah gersang, doa merindukan hujan. 
Namun bukan hujan yang memabukan, agar jiwa tidak banjir merana terlalu menampung cinta. Bukan hujan bergemuruh datang atas nama badai, bersambut kilat membakar hati. Dan sekejap hilang sisakan genangan becek yang tak lama menjelma gersang. Tapi hujan yang diberkati surga. Datang atas nama jawaban doa, tumbuh di hati memaknai jalan rindu. Dan hidup tak lagi sesepi diamnya malam, lengkingan harapan pun melunturkan satir yang selalu hinggap disudut bibir. Tak ada paksaan, hanya ucap syukur tanpa jeda
Sekarang bumi telah basah, jiwa telah tumbuh tanaman yang selalu bermunajat atas nama cinta. Air, semua bernyawa dalam balutannya. Udara, ruang tempat angin berenang bebas mengejar rindu. Semua berlaku sesuai kodratnya. Seperti manusia yang berfikir tentang cinta... cinta yang ranum menjadi makna pembicaraan hati yang berderai

09 Mei 2009

Katakan cukup [pada ketamakan]

Akan ada selalu orang yang lebih berkecukupan darimu, akan ada orang yang lebih mampu darimu. Oleh karena itu katakanlah cukup, cukupkan nafsumu. Jangan terlalu mengumbar nafsumu ingin memiliki segala keinginan didepan matamu. Jangan mengiri berlebihan sehingga malah membuatmu terobsesi. Ingatlah keinginan itu tidak akan berhenti sampai disitu saja. Setelah terpenuhi satu akan ada lagi yang lain dan lain lagi. Oleh karena itu cukupkan semua untuk yang terpenting saja. Aku tidak mengatakan memiliki keinginan itu salah, hanya saja coba pikirkanlah terlebih dahulu.

Orang itu cenderung akan selalu merasa kurang, merasa hidup itu tidak adil ketika melihat (membandingkan) keadaannya dengan keadaan orang lain yang lebih baik dan cenderung untuk akan bersyukur ketika melihat kehidupan orang lain yang berada dibawah keadaannya. Sabarkanlah nafsumu, tundukan pandangan dan berendah hatilah. Apapun keadaanmu, akan masih ada orang lain yang memiliki keadaan lebih buruk darimu, bahwa Tuhan telah menciptakan kita dengan keadaan yang berbeda-beda, bukan untuk membuat kita tersiksa tetapi agar kita mampu memahami nilai, bahwa setiap manusia itu berbeda dan ujian hidup itu pasti datang kepada siapapun orangnya. 

Bahwa makna dan pelajaran yang berharga itu hanya bisa disaring dan direnungkan setelah kita lulus dari ujian hidup. Pengalaman itu baru didapat setelah kita bisa mengatasi persoalan hidup, oleh karena itu pengalaman itu unik bagi setiap manusia dan membandingkan isi kantongmu dengan kantong orang lain sebenarnya sungguh tidak bijaksana. Karena itu berarti kita mengingkari nikmat yang telah ada dalam genggaman kita, melupakannya demi meraih nikmat yang ada ditangan orang lain. Sungguh egois!

Jangan menjadi silau dengan harta, karena harta tidak bisa menyelamatkanmu dari kesedihan, kekosongan dan kesakitan. Harta sejatinya hanya sarana, alat untuk membantumu menuju impianmu. Tetapi sebagai alat, jangan mengangkatnya menjadi tuan. Ketika kita mulai gila-gilaan bekerja dan memeras tenaga demi meningkatkan harta, seolah-olah hartalah tolak ukur kebahagiaan kita. Bahwa semakin banyak harta yang dapat kita kumpulkan semakin bahagia kita. Jangan menjadi salah kaprah dengan role model yang kita lihat di layar kaca atau di kehidupan sehari hari. Orang-orang seperti kerabat dan orang tua mencontohkan untuk bekerja demi menghimpun uang. Menabung sebagian dan membelanjakan sebagian lainnya. Begitu seterusnya. Bukan berarti itu salah, tentu saja seperti itulah roda kehidupan, namun bukan berarti itu adalah tujuan. Kamu harus miliki hidupmu sendiri, bekerjalah karena kamu suka dengan pekerjaan itu, hiduplah dengan menjadi bermanfaat bagi orang lain dan sempatkanlah untuk menikmati pemandangan sekitar. Jangan jadikan hidupmu budak untuk mencari uang, yang akhirnya hanya uang sajalah yang kamu miliki. Jadikanlah hidupmu berarti, dengan mencari makna hidupmu sendiri dan matilah tanpa meninggalkan penyesalan.

Life has its own irony, ketika muda memiliki banyak impian tetapi tidak bisa memilikinya karena tidak memiliki harta. Ketika tua harta sudah terkumpul banyak, tetapi keinginan-keinginan masa muda dulu menjadi usang tergantikan kekosongan hidup, kesehatan yang semakin menurun dan hidup yang diambang batas. Apakah seperti itukah hidup yang kamu inginkan? Apa bedanya dengan kerbau. Bekerja, makan, bekerja, makan... hidup itu seharusnya memiliki tujuan yang lebih mulia. 

Apakah esensi kehidupan itu? Apakah dengan pemenuhan rasa haus akan keinginan kita berarti kita telah mencapai hakikat hidup? Apakah dengan pemenuhan lapar mata dan iri hati dapat dikatakan kita telah memiliki kepuasan hidup? Jika segala sesuatu yang mudah dicapai tidak dapat dinikmati, apakah segala sesuatu yang sulit dicapai itu berharga? Jika kita mati tidak membawa apa-apa kecuali dosa dan pahala, pentingkah masih mengejar rupa dunia dan perhiasannya? Dan jika semuanya pasti berakhir, salahkah jika kita hanya menonton dari tribun tanpa harus memulai langkah pertama ke perlombaan menuju akhir itu?
Jika kamu masih berfikir hidup untuk dunia, pikiranmu hanya terjebak kepada konsumtifisme –persis seperti yang pengiklan-pengiklan dimedia inginkan- hanya sesaat, lalu kemanakah akhirnya arah yang kamu tuju setelah pemenuhan-pemenuhan ego itu tercapai? Hanya ruang kosong di dada. Seongok cita-cita materi yang akhirnya tidak bisa membawamu kepada kebahagian sejati.

Misi
Aku percaya tuhan tidak mengijinkan kita lahir di dunia hanya untuk mati dengan pelajaran hidup yang tidak ada artinya. Kita adalah spesial, mahluk yang diberi anugerah terbesar dibanding semua mahluk yang ada : kehendak bebas!! Kebebasan memilih dan kebebasan berbuat. Jangan sia-siakan hidup ini hanya untuk mengisinya dengan kesedihan, ambisi materi dan hal-hal lain yang tidak bertahan selamanya. Aku percaya, kita, kamu dan aku adalah manusia-manusia yang dilahirkan dengan misi. Misi yang teramat penting untuk dilupakan dan teralihkan dengan tawaran-tawaran dunia yang semu. Misi itu berbeda beda untuk setiap kita, namun secara garis besar, menjunjung dan memelihara nilai-nilai kemanusiaan adalah misi kita yang sudah tertanam (fitrah) untuk kita amanatkan. Apapun agama suku dan rasnya, setiap manusia memiliki empati yang sama ketika melihat nilai-nilaii kemanusiaan dinjak-injak oleh kepentingan sepihak, untuk kemudian berjuang untuk mempertahankan kemanusian itu. Setiap manusia sewajarnya memikirkan pentingnya nilai keluarga diatas kepentingan pekerjaannya.


Telat

Akirnya, nasib akan mengejar mereka yang lari darinya....
Seperti waktu yang tak bisa lari dari kodratnya, untuk selalu berganti
Aku justru memilih bersembunyi dibalik cahaya, layaknya bayangan 
Menjadi pengecut terhadap ketakutan kegagalan yang belum tentu terjadi

Berharap mampu menunda, dan terus menunda, hingga tak terelakan lagi
Menangguhkan janji demi cicilan waktu luang yang sepertinya menyenangkan
Baru kini kusadari, penyesalan itu tidak datang terlambat
Ia datang selalu disaat yang tepat, bagi jiwa yang telah terlambat

Sesungguhnya aku ingin seperti air yang terus berkelana, selusuri langit dan bumi
Tapi air tak mampu melelehkan kodratnya untuk selalu berubah wujud
Lalu aku ingin seperti angin yang ringan, tak berwujud nan pergi sekehendak hati
Tapi angin tak bisa memegang, merenggang waktu yang mendorongnya kesana kemari

Kini kusadari, semua jalan pasti bercabang, semua pilihan selalu ada resiko
Kita hidup tak bisa melawan hukum alam, memanfaatkannya atau terlindas karenanya
Wahai takdirku, maafkan jiwaku yang lemah mewarnai jalan hidupku
Bantu aku menemukan jalanku kembali, mengejar masa depan tinggalkan penyesalan

23 Maret 2009

kebersamaan

Kenapa aku ingin menulis

“Menulis bukan tentang berpikir, melainkan tentang menumpahkan perasaan”
Melatih diri kita untuk menulis membantu kita berkomunikasi dengan diri kita sendiri, dengan menulis (terutama mengenai pemikiran dan uneg-uneg kita) kita membuka pintu dialog dengan hati kita, yang berisi akumulasi pengalaman, keinginan dan suara-suara lirih yang sering kita hiraukan dalam hingar-bingar kehidupan yang bernama intuisi. Jika kemampuan berbicara melatih diri untuk berkomunikasi dengan orang lain, menulis selain juga bisa digunakan untuk bertukar ide dan pemikiran, tapi menurutku juga bisa digunakan untuk sarana berkeluh kesah kepada diri sendiri. Karena satu-satunya yang tidak bisa kita bohongi adalah hati kita, maka dengan menulis membantu kita menselaraskan keinginan antara hari dan pikiran, itulah sebabnya banyak orang menulis diary.

Selain sebagai sarana untuk berkontemplasi, menulis juga mengasah otak untuk mengkomunikasikan ide dalam susunan tata bahasa yang baik, yang bisa dimengerti orang dan bisa mempengaruhi orang lain. Karena dunia ini digerakan dengan pemikiran, bukan gravitasi. Manusia merevolusi cara pemikirannya dengan bantuan karya tulis. Itulah sebabnya mengapa Membaca (tulisan orang lain) adalah jendela dunia.

Coba pikirkan, Kekuatan apa yang dapat merubah manusia dalam jangka panjang? Kekuasaan, Wilayah yang dikuasai, Pamor, Kontroversi ? Satu-satunya yang dapat merubah manusia di jangka panjang adalah karya tulis, manusia yang paling dikenang dan berpengaruh bukanlah yang memiliki daerah kekuasaan terluas, kemampuan militer yang tangguh, kekejaman atau lainnya. Lihatlah Alexander the great, wilayah yang setengah mati ditaklukannya akhirnya hanya dikenang lewat buku sejarah, lihatlah Adolf Hitler, meskipun ia menganggap kebangkitan bangsanya akan dicatat sejarah pada akhirnya ideologinya dikecam dan menjadi ikon kebutralan. Coba bandingkan dengan aristoteles, ibnu sina, Newton, Darwin, dsb. Mereka hanyalah manusia yang memiliki keterbatasan fisik dan kekuasaan tetapi dalam jangka panjang pemikiran mereka merubah cara kita memandang kehidupan, membawa perubahan dan perkembangan. Itulah sebabnya para Nabi sebagai utusan tuhan yang diwahyukan kitab suci kepadanya cenderung membawa dampak yang sangat besar pada kemanusiaan. Lihatlah Nabi Muhamad, Isa Almasih dan Musa. Mereka membentuk tiga agama besar yang dianut sebagian besar masyarakat dunia.

Coba ingat para pahlawan kita, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar dikenang jasa-jasanya? Bukankah hanya segelintir orang yang nama dan wajahnya dikenal oleh orang banyak? bagaimana dengan para pahlawan yang tak dikenal namanya, bukankah mereka juga sama-sama berjuang mempertaruhkan namanya demi bangsa? Kenapa kematian seribu prajurit takkan dikenang dunia sebagai pahlawan, tetapi kematian seorang jendral yang maju perang dengan gagah berani akan dikenang. Bukankah prajurit sama-sama berjuang mati-matian bersama jendralnya?, bukankah prajurit itu harusnya juga patut dikenang setiap individunya? Tapi mengapa hanya jendralnya saja? Menurutku itu karena seribu prajurit hanyalah pion yang digerakkan. Mereka tidakkan bermakna jika tidak ada satu orang yang mengkomando, dengan pemikirannya mengenai strategi perang untuk memenangi peperangan. Coba lihat juga orang-orang yang berjasa bagi perkembangan dunia. Bahkan jika seorang manusia menyumbangkan nyawanya demi kebaikan dunia, masa depan tidakkan mencatatnya sebagai pejuang kemanusiaan jika tidak ada bukti tertulisnya. Tetapi seberapa besar sumbangsih pemikirannya lah yang akhirnya dapat merubah cara pandang manusia ke tingkat yang lebih maju.

Oleh karena itu takkan ku biarkan uneg-uneg pemikiranku ini hilang dan mati bersamaku. Biarkan aku menulis, tak peduli bermanfaat atau tidak. Tak peduli apa yang aku tulis sudah ada sebelumnya atau tidak. Tak peduli apakah ada orang yang akan membacanya atau tidak. Setidaknya ada sesuatu yang aku sumbangkan kepada dunia. Meskipun ini hanya retorika saja, semoga dunia menjadi tempat yang lebih baik dimasa depan.

Arti Menunggu


    Aku pernah menulis bahwa kadang hal yang baik itu pantas untuk ditunggu (The Power of Cinta). Namun ucapan Mario Teguh semalam membangunkan aku dari lamunanku. Beliau berkata, hal hal yang baik datang bagi yang menunggu, tetapi tidak bagi yang menunggu terlalu lama. Yang aku sadari, mungkin aku terlalu lama menunggu sesuatu yang absurd, terlalu abstrak untuk diharapkan. Yang kuakui, apa yang kulakukan selama ini hanyalah menunggu dan berharap. Seperti kebanyakan masyarakat indonesia diluar sama yang telah kekenyangan menonton sinetron yang menjual mimpi. Aku sadari, aku telah jengah akan mimpi. Mimpi dan penundaan itu tidak bisa hidup dalam satu hati, mimpi dan penungguan itu tidak bisa disamakan dengan kata sabar, ia hanyalah alasan, alasan untuk mencekoki pikiran gundah ini dengan pil ekstasi yang bernama lamunan.
    Seperti kata pak mario, Melakukan atau tidak, memulai atau menunda, kedua-duanya menggunakan waktu, tapi hanya satu yang memiliki kesempatan untuk berhasil. Semanis apapun kita mendefinisikannya, mimpi itu selamanya hanya lamunan omong kosong bagi jiwa yang enggan keluar rumah berkeringat menjemputnya. Gagal atau tidak dalam mendapatkannya, sebenarnya tidak masalah. Karena keberuntungan itu lebih berpihak kepada yang kurang pandai tetapi banyak mencoba daripada kepada mereka yang pandai tetapi tidak bertindak apa-apa. Jika kita merasa takut dengan kegagalan dan penolakan, maka seharusnya janganlah berani untuk bermimpi. Jalani saja kehidupan yang membosankan ini dan matilah dalam penungguan hingga tidak ada orang lain yang menganggapmu penting.
     Fakta bahwa kita berani memimpikannya, seharusnya menyadarkan kita bahwa kehidupan yang disajikan dihadapan kita saat ini tidak memuaskan keinginan kita, bahwa ada sesuatu diluar daya upaya kita yang ingin kita miliki, namun saat ini belum bisa kita dapatkan karena suatu sebab diluar kehendak kita. Dari sini seharusnya menggugah kita untuk berharap dan melangkah keluar rumah mencari impian tersebut. Disinilah tempat aku terjelembab berulang kali. Aku sering marah pada diriku sendiri terhadap waktu yang kuhamburkan sia-sia dalam penantian yang terlalu lama, bahwa aku gagal meresapi pelajaran “membuat kesalahan dan bahkan gagal dalam melakukan sesuatu yang berguna adalah lebih baik daripada tidak pernah salah karena tidak melakukan apapun”. Menjadi perfeksionis itu tidak masuk akal, sepertinya aku lupa pelajaran dari tulisanku sendiri. 
    Bagaimanapun juga, kita tidak pantas mengharapkan sesuatu yang besar jika kita tidak berbuat yang pantas untuk menyambutnya. Arti menunggu itu akan menjadi benar jika kita juga mengupayakannya dengan usaha, bukan berpangku tangan mengharu biru dalam doa. Seperti peribahasa
“To accomplish great things, we must not only act, but also dream, not only plan, but also believe”

Im Back to Reality !!

Ahh, ternyata membangun komitmen itu tidak gampang. Dulu aku bertekad untuk menulis blog setiap dua hari sekali, lalu menjadi seminggu sekali, lalu menjadi kalau sempat, lalu menjadi lupa sama sekali. Alasan, alasan, alasan... Selalu mencari alasan pembenar, siapa sebenarnya yang coba aku tipu? Aku hanya menipu diri sendiri, membangun cita-cita(untuk menulis) melalui penundaan, toh akhirnya akan tergilas oleh waktu sendiri, Dan akhirnya aku harus membangun momentum itu mulai dari awal. Aku membangun blog ini dengan idealisme dan terpuruk karena idealismeku sendiri. Seandainya dunia ini diatur dengan Idealisme niscaya akan ada banyak dunia-dunia kecil yang saling berbenturan satu dengan lainnya, karena masing-masing manusia ingin membangun impian idealismenya sendiri-sendiri,yang akhirnya akan terbentur dengan idealisme orang lainnya yang bernama, Realitas...

Realitas itu takkan terelakkan dengan idealisme dan mimpi semata. Kita semua melihat hidup ini dengan mata kepala dan hati yang bernama perspektif. Warna yang sama akan terlihat berbeda oleh dua orang yang berbeda, begitulah kehidupan manusia memandang kehidupan. Toh pada akhirnya dunia ini penuh berisi "apa yang aku pikirkan" dan "apa yang penting bagiku". Sebuah sari individualisme yang tabu di negeri sosialisme (indonesia). Aku memberi judul tulisan ini "Im back to reality", sekedar ingin mengingatkan diriku sendiri, bahwa semanis apapun impian kita, semulya apapun harapan kita, seindah apapun niat kita, semua itu hanya retorika. Omong kosong yang menguap tak berbekas kedalam realitas kehidupan. Karena pada akhirnya, semua cita-cita itu harus dieksekusi, dijalankan. Membicarakan impian tanpa tindakan artinya hanya menertawakan nasib baik yang sudah menunggu didepan pintu kehidupan kita. Kita semua berhak untuk untuk bermimpi, tetapi hanya ada sedikit dari kita yang mau membayar keringat untuk menebus secarik mimpi itu ke realitas, oleh karena itu, "We should back to reality"...

Akhirnya, aku mencoba untuk menulis kembali, tertinggal waktu satu bulan lebih, kini ingin membangun momentum kembali. Semoga tulisan-tulisanku bisa menginspirasi teman-teman.
Aku sadari aku bukan motivator atau orang berpengaruh, dan sering kali kata-kata dari orang biasa sering diacuhkan atau dianggap skeptis. Tapi itu seharusnya kan tidak menghambat seseorang untuk berbuat kebaikan? Apakah kita harus menunggu kita menjadi orang hebat dulu baru mulai menebar kebaikan?
Jika kita ingin berbuat kebaikan mengapa harus membuat suatu syarat dan kondisi tertentu? Jika orang lain tidak menerima kebaikan kita lantas apakah pantas bagi kita untuk menyesali itu dan berhenti berbuat kebaikan? Bukankah itu artinya kita pamrih, mengharap pujian dan balasan (walaupun itu manusiawi)? Aku sendiri menganggap, toh Tuhan Yang Maha Melihat itu tahu tujuanku dan ada pepatah yang mengatakan "tidak ada balasan selain kebaikan bagi orang yang meberi kebaikan". Kurasa itu saja cukup bagiku untuk mulai menulis lagi...

11 Februari 2009

Yang tertunda

Menjadi besar hanyalah lagu lama
Ketika penundaan ini melelapkan
Mempertaruhkan harapan pada penantian
Yang menjemukan, omong kosong...

Masih ada yang lain, katamu...
Tapi berhenti melakukan yang seharusnya
Akhirnya tidak gegas menjemput masa depan
Malah mencari alasan tutupi penyesalan

Berapa syair yang kau buat percuma
Tak ada yang datang cuma-cuma
Semua perjuangan dan doa
Tak ada yang sia-sia

Akhirnya, waktu itu tak berpihak
Umur itu membunuhmu perlahan
Hingga ucap penyesalan atau syukur
Menutup mulutmu selamanya

Sepenggal kisah menerangi perjalanan
Menginspirasi atau menakuti
Musim berganti tumpang tindih
Tetap saja tidak ada yang bisa menerka

Bagaimana akhir cerita

Yang tak terselesaikan

(Puisi kepada penyesalan)

Apakah arti kata mencintaimu
Jika aku tak bisa persembahkan yang terbaik
Apa maksud hati merindu padamu
Jika menuntunmu kembali saja tak mampu

Mungkin saja kita terlalu banyak berandai
Tentang makna kasmaran, tentang arti kodrat
Atau kita terlalu menyederhanakan persoalan
Seolah waktu akan meluruhkannya begitu saja

Jika saja dunia ini dibuat dengan kata seandainya
Niscaya ku kiaskan semua yang indah bagimu
Semua yang bisa ku miliki diperuntukan atas namamu
Tapi bukankah itu palsu, dan kita masih disini

Aku begitu menggebu mencintaimu...
Melebihi akal sehat menasehatiku
Aku begitu bernafsu menginginkanmu
Melangkahi keterbatasan kemampuanku

Mungkin aku salah menafsirkan raut muka
Sehingga kemurnian hati tercerai murka
Aku mengerti, kita masih belajar meraba cinta
Memperjuangkan sesuatu yang bernilai itu memang tak mudah

Yang aku mengerti, niat itu hanya omong kosong
Jika tak dilakukan, jika tak diperjuangkan
Sampai akhir zaman, khayalan tetap mengawang
Kenyataan selamanya adalah tempat kita bernafas

Semoga kamu mengerti, buah simalakama ini
Kenyataan itu bisa pahit dan manis
Tergantung bagaimana kamu mensikapinya
Masa sulit itu pasti datang, cepat atau lambat

Pupuskan sembab muka itu, aku masih disini
Jika asa itu sirna, berdua mari kita nyalakan lagi
Peganglah tanganku dan melangkahlah bersama
Dimana kita menggambar peta kehidupan,
... sedikit demi sedikit ...

Yang tak terselesaikan jadikanlah ladang
Yang kita semai benih harapan

03 Februari 2009

Arti syukur

Apa itu arti syukur? Bila diterjemahkan secara bebas berarti berterima kasih terhadap apa yang terjadi di diri kita. Tapi bukankah kita cenderung bersyukur ketika bahagia dan cenderung menyalahkan ketika tertimpa musibah? Lalu bagaimana syukur itu bisa masuk dan mengobati kesedihan? Hari ini aku baru saja pulang dari njagong di Graha Saba UGM. Makanannya memang kelas atas dan undangannya majemuk sekali. Aku lihat ada manusia yang mengambil makanan sebanyak-banyaknya seperti makanan terakhirnya. Ada yang sedikit seolah makanan itu racun, dan lainnya.

Yang kuperhatikan, hubungannya dengan topik ini adalah ada orang yang menerima kehidupannya seperti take it for granted, alon alon waton kelakon, urip koyo banyu mili. Bagi sebagian orang makanan gratis adalah kesempatan mengeruk sebanyak-banyaknya. Ada juga yang menganggap orang lain adalah serigala, baik dimuka tetapi menusuk dibelakang sehingga selalu curiga. Dan ada juga yang lainnya....

Mengapa manusia ingin mengeruk melebihi besar sendoknya? Mengunyah melebihi kapasitas mulutnya, mengambil melebihi tangkupan tangannya. Bukankah akhirnya sia-sia? Kalau dipikirkan, semua demi nafsu. Ya, nafsu yang selalu jika terus dituruti akan menjerumuskan kita dalam jurang penyesalan. Selalu ingini lebih, padahal apa yang sudah dimiliki belum tentu habis digunakan dengan maksimal. Jawabannya Cuma satu. Kurang rasa bersyukur !!!. syukur ibarat rem nafsu. Menyelamatkan diri dari kehampaan jiwa sekaligus memberi rasa aman pada hati. Aman dari rasa kompetisi nafsu sesama manusia.

Rasa syukur berbeda dengan pasrah. Pasrah berarti menerima dengan tidak berdaya. Syukur berarti mensyukuri berkah maupun musibah. Keduanya mempunyai kesamaan, yaitu rasa ikhlas. Tetapi yang satu menerima dengan berterima kasih dan yang satu menerima karena tidak ada pilihan lain. Jika harus memilih, manakah yang kau ambil? Setiap orang punya opini berbeda. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Sejujurnya, tidak mudah untuk bersyukur, apalagi atas sesuatu yang tidak berkenan, sesuatu yang diluar ekspektasi kita sebelumnya. Butuh proses yang pasti, tetapi semua itu harus diawali dengan mengingat satu fakta.

Semua yang terjadi atas diri kita adalah kehendak yang diatas, sesuatu yang sudah ditulis dalam kalam. Dan Tuhan tidak pernah salah, maka apa yang terjadi atas diri kita adalah memang untuk diri kita, bukan kejadian kebetulan atau sedang apes atau mujur. Semua sudah digariskan. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapinya, itu saja....

Dengan mengingat fakta ini, maka iringilah dengan bersikaplah positif. Semua yang terjadi pada kita adalah ujian, dan Tuhan sendirilah saksinya. Jika ujian ini terasa nikmat maka nikmatilah dengan sewajarnya. Jika itu tidak nikmat maka tetaplah berusaha untuk menikmatinya, anggap sebagai proses yang harus dialami setiap manusia. Bahwa kita bukanlah manusia termalang saat ini. Bahwa ada orang lain yang tidak seberuntung kita. Maka lihatlah kebawah, jangan menengadah.

Memang tidak mudah, katakanlah ini hanya teori. Sebuah retorika omong kosong dari orang yang berlagak bijaksana. Tapi bukan berarti tidak mungkin tho?. Semua itu bisa terjadi asalkan kita MAU mengusahakannya. Sebenarnya tidak ada yang mudah di dunia ini, bahkan untuk bayi keluar dari kandungan sampai sakaratul mautpun tidak ada yang mudah. Dan disitulah muncul tantangan dan harapan. Karena manusia cenderung pemalas, jika tidak ada hambatan tidak akan berusaha maka cobalah sedikit demi sedikit. Genggamlah air niscaya itu akan terlepas dari tanganmu, tapi cobalah menciduknya dengan tanganmu. Bukankah esensinya sama, hanya pendekatannya saja yang berbeda, begitu pula dengan syukur.

Puisi kepada malam

Kutitipkan puisi ini pada selembar malam
Desau angin bercampur pekat awan
Yang tersisa padaku hanyalah rindu
Ku berharap engkau kelak merasa
I think I miss you

Entah sesal atau harap
Aku akui hasrat tak padam
Meski semalaman menghitung bintang
Dan masih terlelap memimpikanmu
I think I love you

I`m falling in love with you
Meski satu kisah belum tuntas
Aku menungguimu dibalik bulan
Agar dapat nyanyikan lagu tidur
Ingin datang padamu seperti hujan
Menumpahkan semuanya dalam satuan
Agar engkau tahu air di awan adalah untukmu

Jadilah bagian terindah
Dalam mozaik hidupku
Mencintaimu selama waktu
Maka pinjami aku kesempatan

hidup ini

hidup ini...
Hanya sekelumit desah
Mengelupasi pikiran
Dari malam-malam
Sesunyi perkuburan

Kita masih tak mengerti
Arti kehidupan
Sesempit petak sel
Seluas gugus bintang atau
Mungkin di antaranya

Sesederhana ketidaktahuan
Menjadi acuh atau ricuh
Ada apa di sana?
Menengadah pada jagat luas
Menunduk pada sebutir pasir
Semuanya begitu misteri

Selembar waktu, frekuensi, gelombang dan partikel
Satu kaki pada kebodohan dan kaki satunya pada logika
Menjadi tersesat pada misteri, terhisap pada lumpur hidup
Bernama rasa ingin tahu.

Akhirnya kembali pada lembar kusam kitab-kitab agama
Ada sesuatu di luar nalar, sekeras dan segigih apapun
Hanya ada tanya, kemudian tanya. Falsafah matahari...
Untuk mengerti kamu tidak bisa langsung melihatnya

Akhirnya tersisa satu. Apa arti hidup ini

Kamu

Ada kamu digemericik hujan
Jatuh menggelayut dari labirin kisah
Ada kamu di atas bulan sabit
Redup membasahi jalan gelap

Walau hati kita terhenti dalam kisah
Mungkin lapuk tertutupi waktu
Kamu masih menjadi tema
Kini membuatku kepalang
Dan segala kebencianmu atas diriku
Tak mengapa, asal ada kamu...

Seandainya

Seandainya aku terlahir kembali
Kuingin menjadi hujan, agar dapat
mempersatukan dua jiwa yang
saling memandang, namun tak kuasa bertemu
Antara bumi dan awan

Seandainya pun tak terlahir kembali
Kuingin menulis jalan tak berujung
Agar dapat menjelajahi
Dua hati di pelosok bumi

Dimanakah sebenarnya kamu bersembunyi?
wahai permata hati.......

Puisi Cinta yang Tak Selesai

Ajari aku
Membuang jelaga
Dengan senyummu
Duhai bintang malamku

Ajari aku
Mengeja cinta
Dengan tatapanmu
Duhai bulan hatiku

Aku sungguh jatuh hati padamu
Benerang wujudmu menyiangi pekatku
Sementara bayangmu melebur dalam angan
Menyisakan hari yang teramat

Berkala hadirmu
Membesuk mimpiku
Mengucap salam
Sambil tersenyum
Lalu berdansa
Menyisik awan

Kini aku meringkuk
dalam kegamangan
sewindu berlalu
tak sekalipun kujumpa dirimu

malam ini wajahmu menghantui
seperti siluman abadi
tapi berparas bidadari
turun ke bumi, renangi jiwa ini

bermain riak yang terlanjur tenang
Lihatlah ke sana, ada lembah air mata.

pecundang picisan

Berapa banyak duka
Yang kau sebar di sepanjang jalan
Mengaisi setiap puntung dupa
Mengumpulkan asapnya
Kemudian menelannya
Satu masa berganti
Mengapa membuang hidup
Mengemis hujan, menangisi tanggalan
Mengikis harapan dan menyembah nisan

Engkau menjumput yang tersisa
Dari pelataran makam
Sambil berkerudung hitam
Memurungi nasib
Sambil berbaju hitam
Berharap mati namun tak bernyali menenggak racun
Awan hitam menyangkut di desahmu

Akan tiba suatu masa
Saat tubuhmu retak
Oleh kesedihan dan derita
Saat nyawa di ujung mata
Engkau masih berharap
Mengulangi masa
Dan mentari tetap saja
Terbit dari barat
Tak menggubrismu

Cermin

Siapa yang mengajari?
Aku hanya meniru
Segenap lakumu
Akulah cermin
dan juga bayangan
mengikuti tubuhmu
dan setiap lakumu
padaku

jangan mengaduh
pula menyumpah
aku tak mengerti
apa dibalik tirai kalbu
aku hanya meniru
lakumu padaku

lantas mengapa marah
jiwamu resah
pada lakuku
tak mengertikah
baik burukmu
pasti kembali padamu
membelai atau menamparmu

abangan

Ke mana ayat pernikahan
Yang dulu kerap kau mantra
Di perhelatan dua setakdir
Saat ucap janji mengayuh bersama

Kini bias, kita sedang menari topeng
Kala Cinta di ujung ubun
segumul madu belum matang
terenggut atas nama kasih sayang

Mana mukamu,
Dalam sepertiga malam terakhir
Masih bersujud atau tergeletak
Kini aku tagih janjimu !!!

Kesucianmu pupus dalam gerimis
Tak tersisa kaummu setia mendengar khotbahmu
Mengapa tak hentikan saja kepalsuan
disela jemari berzikir, siapa peduli

tak sadarkah engkau?
Kini hujan dosa !!!!

bumiku hambar

Ku renungi setiap lorong gelap
Dalam kereta cepat mengejar matahari
Yang terlanjur terpapas pergi
Ditelan hingar bingar kemajemukan

Aku mulai jengah pada pena
Menulis dalam gelap, meraba yang tak terbaca
Meski penuh, meski utuh
Aku seperti menulis buku tanpa judul

Setiap lembar usang kuratapi
Kini aku terhenti pada sebuah koma
Aku kehabisan kata !, Tak tahu apa lagi apa yang harus ku tulis
Sementara kereta terus melaju tak peduli

Ada pekat menyumbat nafas, ingin berteriak tapi adakah yang peduli?
Semua membisu, terbungkam menghitung pundi kehidupan
Resah pada akhir perjalanan

*fajar*

Suatu fajar tumbuh merekah membuka pagi
Menggeliatpun tidak kala dingin menggedor di luar selimut
Orang tua berkata rezekimu hilang dipatok ayam
Kau seperti masih menikmati tetes terakhir mimpi di ujung bibir
Ternyata awang telah memberimu dosis surga

Berhatilah kala tersadar, candunya pasti luruh tersiram getir
Bangun !!, nafasmu sia-sia menguap di atas bantal
Masih banyak waktu tuk meneruskan di rumahmu kelak di petak perkuburan
Dan saat duha datang, kau masih sibuk mengemasi mimpi mengumpulkan nyawa

Tak lihatkah cangkangmu yang mulai tergerus
Jadilah manusia memandang jalan
Usaikan saja menatap awan
Pergerakannya lambat dan membuaimu hilang

Akhirnya penyesalan, hanya tersisa penyesalan.....

aku bukan nabi

Aku tak bisa menulis
Tentang dosa, tentang kelahiran
Aku tak bisa mengeja
Tentang sabda, tentang kematian

Lihat aku, masih abu-abu
Tanyakan bumi, ku bukan kanvas putih
Jangan katakan tuk sabar menunggu
Tahukah engkau kesabaran hanyalah kesepian tiada akhir ?

Saat banyak mengarungi waktu kau akan mengerti
Dunia ini relatif, hanya waktu yang meluruskan

Waktu hanya perulangan
Pagi, siang, sore, malam
Detik, menit, jam, hari, bulan, tahun
Lahir, merangkak, berjalan, berlari, kemudian mati
Kita masih hidup di bumi yang sama

Memuja
Memburam,
Terhembus puisi yang dibacakan angin

Maafkan aku

entah, cinta mana kini engkau genggam
di debar dadamu keping kisah berjatuhan
sementara di getar bibirmu kata menghunusku dalam
apakah lakuku atau engkau sudah muak padaku?

entah, apa yang bergemuruh dipikiranmu
tapi dari pandangan mata engkau bertutur
dan dari nada bicara kutangkap banyak pesan
begitu burukkah aku dimatamu?

entah, Masih ingatkah pada wajah lugu dan gelak tawa
Belum genap sembilan bulan hanya untuk merangkak
Atau ketika latah meniru satu kata, tanpa mengerti makna
tahukah engkau betapa repot mengeja ibu dengan pikiran tak mengerti bahasa?

Ingatlah aku hanya seorang anak
Bukan miniatur orang dewasa terkungkung dalam tubuh yang kecil
aku bukan anak ikan, begitu lahir langsung bisa berenang.
Aku juga bukan anak ayam, begitu menetas langsung belajar berjalan.

Aku banyak membuat kesalahan,
Dan engkau masih saja meluruskannya untukku
Mungkin engkau tak menyadari,
tapi di situlah aku terbata-bata mengeja kasih sayangmu

entah, cinta mana kini engkau genggam
di gelas yang hanya terisi setengah
atau mungkin kosong separuhnya lagi
aku tak dapat menebak bagaimana

Hardiklah keras jika engkau mau
Atau sekalian pecahkan saja gelasnya
Tapi jangan engkau buang yang tersisa
Dari kasih sayang dan cinta

Dan saat amarahmu padam
Ingatlah aku masih menyayangimu jauh di dalam
Karena ku tak ingin berakhir di persimpangan jalan
Sementara pintu surga masih terkunci di telapak kakimu

maka maafkan aku jika engkau masih sudi


pesan moral:
membuat kesalahan adalah hal yang biasa
tidak belajar dari kesalahan adalah sebuah kebodohan
tetapi memutuskan untuk tidak meminta maaf adalah kesalahan terbesar

"Kita melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita
cintai. Dan akibatnya sering kali adalah fatal".

Paradigma Penentu

Aku tulis renungan ini bukan berarti aku telah sampai pada tujuan itu, selayaknya banyak pegarang buku cepat kaya yang belum tentu sudah kaya. Kenyataannya kita semua masih belajar memahami diri sendiri untuk meraba masa depan. Ada begitu banyak rujukan tentang cara sukses di toko buku dan di internet bila kita mau melihatnya. Tetapi mengapa dari dulu selalu hanya ada sedikit orang yang sukses? Mengapa masyarakat yang peduli pada masa depannya belum mencapai kesuksesan seperti rujukan buku dan tulisan yang dibacanya?

Banyak motifator yang sukses menjual omongannya, tetapi sedikit yang sukses membawa penontonnya kepada kesuksesan yang dibicarakannya. Apakah karena perbedaan definisi kesuksesan? Ataukah para penonton itu lebih senang dibuai oleh motifasinya kemudian kembali larut dalam masalah kehidupan sehari-harinya?

Apapun alasannya, kita memang perlu selalu dimotifasi. Karena perjalanan hidup itu tidak mulus, banyak kerikil yang membuat kaki kita sakit, kita harus terus selalu disemangati agar bisa terus maju, alih-alih terus mengeluh kesakitan dan menyalahkan nasib. Daripada menyalahkan nasib, mengapa tidak merubahnya? Dari sinilah ingin kurangkai kutipan para motifator tenar dan kutambahkan dengan pemahamanku, semoga bisa menginspirasi untuk berubah.

Jim Rohn, salah satu motifator terkenal mengatakan bahwa “Nasibmu tidak berubah oleh keadaanmu tetapi berubah oleh pilihanmu”. Nasib kita tidak ditentukan oleh keadaan yang melingkupi kita tetapi oleh pemahaman kita tentang keadaan”, begitu pula kata Zig Ziglar. Nasib Kamu tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada diri Kamu (What ON) tetapi oleh apa yang terjadi di dalam diri Kamu (what IN)”, demikian kesimpulan John C. Maxwell. Kita bereaksi menurut apa yang kita pikirkan, bukan berdasarkan kenyataan itu sendiri.

We see the world as we are, not as it is.

Akar segala sesuatu adalah cara kita melihat. Cara kita melihat mempengaruhi apa yang kita lakukan, dan apa yang kita lakukan mempengaruhi apa yang kita dapatkan. Stephen Covey pernah mengatakan: "Kalau Kamu menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku Kamu, tapi bila Kamu menginginkan perubahan-perubahan yang besar dan mendasar, garaplah paradigma Kamu."

Cara kita melihat masalah sesungguhnya adalah masalah itu sendiri. Karena itu, untuk mengubah kehidupan, yang perlu Kamu lakukan cuma satu: Ubahlah cara Kamu melihat masalah. John Gray, pengarang buku Men Are From Mars and Women Are From Venus mengatakan, "Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh." Kegagalan dalam usaha bukanlah pilihan (choice), melainkan konsekuensi yang tidak bisa dipilih (not free to choose).

Kamu kan boleh memilih, tentulah tak ada satu pun manusia di dunia ini yang memilih kegagalan. Semua orang pastilah akan memilih keberhasilan. Prakteknya membuktikan, “We are the law of ourselves.” Artinya kita adalah apa yang kita persepsikan mengenai diri kita sendiri, oleh karena itu Mario teguh pun berpesan, Jika kamu ingin menjadi orang sukses, maka pantaskan usahamu agar bisa seperti orang sukses dan berperilakulah sepertinya. Robert Kiyosaki menyimpulkan bahwa kegagalan itu akan menjadi penghancur (demotivator, destroyer) bagi orang kalah (losers) tetapi akan menjadi inspirasi maju bagi para pemenang (winners).

Terakhir, Les Brown berpesan: “Jangan biarkan opini negatif orang lain tentang dirimu menjadi kenyataan di dalam dirimu.” Dihina orang lain tidak ‘capable’ kalau kita iyakan (kita gunakan sebagai demotivator) akan menjadi kenyataan di dalam diri kita tetapi kalau kita tolak (kita jadikan motivator untuk menjadi capable) tentu ini setidaknya akan mengantarkan kita menjadi capable, meskipun tidak semudah orang membalik tangan. Eleanoor Rosevelt berkesimpulan: “Tidak ada orang yang sanggup membuat Kamu down tanpa izin dari Kamu.”

Sebagai penutup, apapun yang kita lakukan dalam upaya membangun keberhasilan tidak akan terlepas dari mengambil resiko. Semakin banyak resiko yang kita ambil, semakin besar peluang kita untuk belajar dan tumbuh. Ini adalah puisi yang menginspirasikanku untuk berubah. Aku mendapatkan puisi ini dari salah satu buku motifasiku, semoga bermanfaat.

Tertawa beresiko tampak bodoh
Mengisak beresiko tampak sentimentil
Menggapai orang lain beresiko keterlibatan
Mengekspresikan perasan beresiko tidak sesuai harapan
Menempatkan banyak ide dan impian didepan umum beresiko kehilangan hal-hal itu

Hidup beresiko kematian
Baeharap beresiko patah harapan
Mencoba beresiko gagal

Namun resiko harus diambil karena bahaya terbesar dalam hidup
Adalah tidak mengambi resiko

Orang yang tidak mengambil resiko tidak memiliki apa-apa
Dan bukan siapa – siapa

Ia mungkin menghindari penderitaan dan kesedihan,
Namun ia hidup tidak dapat belajar, merasa, berubah, tumbuh maupun hidup

Dirantai oleh ketidakpastiannya, ia adalah budak
Ia telah mengorbankan kebebasaanya

Hanya orang yang memiliki resikolah yang bebas.


____________________
Daftar Pustaka :
dikutip dari berbagai sumber

Cerita tentang Keterpurukanku di suatu waktu

Apa terhenyuk saat kulihat kesalahanku telah menampar mukaku keras. Di kala itu, dengan keteledoranku mobilku terjatuh kedalam sungai. Bukan sungai yang dangkal, sungai itu sedang deras-derasnya, berdinding curam dan dalamnya lebih dari 2m, bagaimana cara mendereknya?. Mobilku pun terhanyut, benar-benar terhanyut seperti kain yang setengah mengapung dipermukaan. Waktu itu entah bagaimana perasaanku, satu-satunya yang kuinginkan saat itu adalah ini sekedar mimpi, mimpi buruk sekali. Setengah jam aku memandangi mobil itu yang terhanyut kemudian tersangkut dibawah jembatan, menggumam tidak jelas. Sudah jelas itu adalah kesalahan

Waktu itu, seperti badai gurun yang menghantam menyapu harapan dimukaku saat kejadian itu jelas jelas mempertontonkan semuanya. Aku malu. Dipermalukan oleh setiap pasang mata yang menoleh pada seongkok daging bernama aKu. Apa pikir mereka ?, benakku. Bodoh sekali yang mengendarainya. Dan mungkin seratus pemikiran negatif lainnya terpikir olehku seakan otakku seperti spon yang menyerap habis semua air dalam gelas.

Bergemuruhlah isi kepala dan dada ini dengan berbagai pemikiran yang mencoba memahami keadaan yang sebenarnya, seperti mengurai kemacetan lalu lintas yang terlanjur parah. Kurasa yang ada di kepala hanyalah ruang bagi penyesalan, tempat bermukimnya kaum pecundang, tempat dimana negatif adalah nikotin yang menggerogoti setiap sel paru agar merasa diterima. Entah mengapa, untuk kesekian kali keteledoran menamparku keras dengan penyesalan. Its my bad habit, i admid it. Setiap langkah, setiap detik pikiranku melayang dan membentur yang terlihat. Berulangkali. Kala itu tak ada yang bisa diguyonkan dari peristiwa ini, kesalahan seperti ini tidak mungkin lagi kujadikan bahan lelucon.

Keteledoran yang harusnya terpikirkan, menguap setelah berlalu. Aku tidak mencari pembenaran. Aku salah, dan penyesalan menagihku seperti bayangan. Mengikuti kala siang dan membekapku dalam setiap desah nafas malam. Aku tersiksa. Bukan karena verbal abuse cemoohan orang lain, tapi karena perulangan demi perulangan yang mengiang dikepalaku. Secuil demi secuil kejadian perih itu membentang di benakku seperti layar tancap. Aku tergerogoti setiap detiknya dengan inferioritas, kegelisahan dan kemalangan.

Sebuah buku mengatakan aku sedang menyiksa diri sendiri dengan belati waktu yang tak pernah berkesudahan, dan aku tak punya kuasa untuk melarikan diri darinya. Aku berharap dengan penyiksaan diri sendiri ini dapat mengurai rasa bersalahku, namun kenyataannya tidak demikian. Penyesalan yang berlebihan ini hanya menjadi lubang hitam yang menghisap habis nafas hidupku kedalam pusaran grafitasi kesedihan. Akupun merasa terpenjara sendiri dalam ruang akalku.

Kala itu, yang bisa menyelamatkanku dari keterpurukan adalah meditasi. Setelah mobil akhirnya bisa diderek dan dibawa ke bengkel, setelah semua kerumunan massa itu habis menyisakan aku dan mobilku akhirnya aku baru bisa sedikit tenang. Aku merenung dalam kesepian malam, diantara sajadahku dan derik melodi malam. Aku mengambil sisa-sisa semangat dari hati kecilku dan kukumpulkan dalam tangan yang memanjatkan doa. Tidak mudah memang, berkomunikasi dengan diri sendiri dimana semua kebohongan bisa terlihat, tetapi menurutku hal ini adalah satu langkah maju dari pada harus merajuk hati sendiri.

Buddha pernah berkata, kebahagian datangnya harus dari diri sendiri. Jika engkau tidak menemukannya maka engkaupun tidak akan menemukannya dimanapun didunia ini. Semua penundaan, semua penyesalan dan semua kekagagalan ada dalam setiap jengkal arteri takkan berubah menjadi kebaikan jika hanya membayangkannya.

Anyway, aku takkan menulis cerita ini jika tanpa moral lesson apa-apa. Apapun intrepertasinya bagimu, tapi buatku inilah kesimpulannya:
__________________________________________________

Dalam buku La tazan dikatakan, dunia ini selalu diliputi pertentangan. Tuhan selalu menciptakan dua jenis segala sesuatu yang saling bertentangan di jagad ini. Ada baik buruk, positif negatif, gelap terang, pria wanita, dll. Diatas itu semua, didunia ini akan lebih banyak tampak penderitaan dan cobaan dibanding kebahagian dan impian. Maksudku, dari semua hal yang terjadi memang kesialan selalu lebih banyak. Akan tetapi Tuhan juga mengisyaratkan bahwa dalam Kitab Suci lebih banyak ayat tentang harapan, janji, dan kabar gembira dibanding ayat tentang ancaman, duka dan kabar buruk. Artinya apa? Itu artinya kebahagiaan itu sebetulnya lebih banyak jika kita bisa mencarinya, memutuskannya. Meskipun di dunia ini tampak lebih banyak kesedihan dan kesengsaraan.

Sebuah buku lain berpendapat, pikiran (mind) seperti pesawat radio. Jadi sebenarnya pikiranmulah yang menyetel frekuensi negatif berulang ulang. Didunia ini walau sedikit namun masih ada kebahagian sejati dan itu semua bisa diperoleh dengan mengganti saluran ke saluran positif. Thats what you must do. Abaikan kabar buruk. Bad news is not good news!! Buang koran dan matikan chanel berita. Bacalah buku positif dan dengarkanlah orang positif, setidaknya begitulah orang-orang sukses bersikap.

M. Marcus. A, filsuf dan kaisar Roma dalam tulisannya, Meditation, menyatakan hidup kita adalah bagaimana pikiran kita mewujudkannya. Jadi, berfikir positif adalah cara membuat hidup menjadi positif atau melihat segala sesuatu yang lebih memberikan motivasi. Akan tetapi, berfikir positif bukan berarti memiliki keyakinan berlebihan yang tanpa menggunakan perhitungan, namun di sini lebih ditekankan pada cara menilai kembali segala sesuatu dengan menekankan pada segi yang positif.

Hhmmm, sepertinya kita jadi jauh dari topik utama diatas ya? Wes lha rapopo. Anyway, dibuku lainnya aku ingat ada perkataan “Isi pikiran melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan melahirkan karakter. Karakter melahirkan “nasib”. Hubungannya, kalau dalam lima tahun ke depan kita masih tetap menemui orang yang bermodel sama atau membaca buku yang isinya sama, maka nasib kita otomatis akan sama. Tanpa harus kita kasta-kastakan sendiri sebetulnya hukum alam ini sudah membuat semacam pengkastaan berdasarkan kualitas kelompok manusia yang oleh para pakar ilmu pengetahuan disebut Hukum Asosiasi (The Law of Association) yang kira-kira bisa dijabarkan bahwa kita secara naluri akan berkelompok dengan orang yang sejenis atau setara kualitasnya dengan kita.

end note :
“Lingkungan memang tidak bisa mencetak diri kita, tetapi lingkungan yang kita pilih mencerimankan siapa diri kita”. Pendapat demikian sudah klop dengan petuah leluhur yang berwasiat: “Jika kau ingin mengetahui profil seseorang, tak usah kau tanya langsung kepada yang bersangkutan tetapi lihatlah lingkungan seperti yang dia masuki.”

02 Februari 2009

Why It Must Be Plagiatism ?

Sekedar uneg-uneg saja. Dijaman Internet ini semua informasi sudah jauh lebih mudah dan praktis didapatkan dibandingkan jaman dulu. Segi positifnya, informasi mudah didapat,negatifnya orisinalitas menjadi menurun. Banyak yang cuma copy-paste materi di internet tanpa diolah lagi. Hasilnya, kapan intelektualitas seseorang bisa maju ?
Memang benar bila kita tidak bisa mengelak untuk meniru ide orang lain untuk berkembang. Tetapi mengapa hanya meniru, itukan hanya membuat kita menjadi masyarakat peniru. Mengapa tidak mengolah tiruan itu dan menggabungkan dengan ide kita agar menjadi orisinil agar karya kita sulit ditiru.

“Tantangan bagi setiap orang adalah bagaimana membuang ide lama yang menghalangi realisasi ide baru bukan bagaimana menggagas ide baru”

Aku sendiripun banyak terinspirasi oleh tulisan orang lain di internet, tapi untuk menyadurnya begitu saja kedalam blogku itu persoalan lain. Blog itukan sebenarnya juga alat untuk melatih kemampuan kita mengolah informasi dan kecakapan menulis. Jadi kenapa harus mengesankan pembaca dengan kecanggihan tulisanmu bila itu saduran tulisan orang lain ? Perbaiki sedikit demi sedikit, walau jelek tapi orisinil. Permasalahan lain akan terselesaikan dengan sendirinya seiring pengalaman mengajari kita.

Ada perkataan yang aku pelajari dari buku. Katanya, masalah adalah kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru. Kita tak bisa lari dari masalah selama nafas masih meniup ruh kita. Katanya lagi, masalah adalah kebalikan kebahagiaan. Cepat lambat, dimanapun, siapapun manusia itu pasti memiliki masalah. Ibarat roda kehidupan, kadang kita diatas kadang dibawah. Percaya atau tidak, pola berpikir menentukan bagaimana masalah itu diselesaikan. Karena itu, tidak ada orang sukses di dunia ini yang tanpa masalah begitu pula dengan orang-orang super kaya(ya setidaknya dia kan punya masalah bagaimana cara menghabiskan uangnya).

aku kira segini dulu.... tobe continued ?

Monkey See Monkey Do

Kadang ketika seseorang yang dekat di kehidupan kita mengecewakan kita, reaksi kita biasanya langsung marah, naik pitam bahkan memaki-maki dalam hati. Yang tidak kita sadari adalah bahwa dilain waktu ketika kita masih marah terhadap seseorang itu, seseorang tersebut secara tidak disangka-sangka menyenangkan hati kita, entah dengan pujian, perkataan atau perbuatan. Disitulah kita seharusnya mengerti, bahwa suatu hubungan tidak dapat dibayangkan hanya berisi cerita-cerita indah dan pengalaman yang menyenangkan saja. Ada kalanya hubungan tersebut dapat merenggang bahkan retak. Di titik inilah kita sering ceroboh mengambil keputusan, mempersangkakan yang tidak benar dan menyakiti lebih dari yang pantas.

Dulu kuanggap aku reaktif terhadap orang, pada kenyataannya bukankah kita semua demikian ?. Orang ibarat cermin yang berdiri dihadapan kita. Seperti kata pepatah "monkey see, monkey do". Apapun tindakan yang kita lakukan didepan cermin selalu memantul kembali ke diri kita, begitu pula dengan manusia. Ketika kita tersenyum pada seseorang yang tidak dikenal, kemungkinan besar reaksi orang tersebut adalah tersenyum kembali meski tak mengenal kita. Bila kita memarahi seseorang, reaksi yang dapat ditebak adalah orang tersebut juga terbawa emosi. Keuntungannya adalah, kita bisa mengendalikan perasaan kita untuk mengendalikan perasaan orang lain.

Jika kita ingin seseorang bersikap baik kepada kita, cobalah memulai lebih dulu dengan bersikap ramah, lalu perhatikan apa yang terjadi. Secara natural lawan bicara kita pun akan meniru. Tunjukan niat baik kamu secara tulus tanpa embel-embel.
Memang aturan ini tidak berlaku untuk setiap kasus karena harus melihat kondisi-kondisi yang mempengaruhinya. Namun setidaknya demikianlah yang berlaku pada umumnya.

Martin Luther Jr. Mengatakan “Api tidak bisa dipadamkan dengan api, hanya air yang bisa. Begitu pula rasa benci, tidak ada yang bisa mengurangi rasa benci kecuali cinta”.
Yang kusadari adalah kadang kita terlalu terbawa emosi sesaat dalam menghakimi hubungan kita dengan seseorang. Kesalahan dalam bersikap itulah yang sering membawa kita pada pertengkaran yang sebetulnya tidak perlu.

Memang benar perkataan Rasul bahwa didalam jiwa yang sedang marah, setan berteriak keras kedalam otak kita sehingga menuntun kita melakukan sesuatu yang kelak kita sesali. Setan begitu halus menjerumuskan kita, seolah-olah itu kehendak bebas kita. Karena Marah itu tidak dapat dihindari selayaknya emosi lainnya, maka karena itu Rasulpun mencontohkan, bila sedang marah, beliau pun berhenti berbicara sejenak kemudian mengambil nafas dalam. Jika masih belum reda, Beliau mengambil wudzu dan solat sunnah. Oleh karena itu dikenal oleh para sahabat bahwa bila rasul sedang marah maka Beliau diam, berhenti berbicara sampai reda bukan memaki.

Ketika suatu hubungan merenggang, otomatis yang kita ingat dari orang tersebut hanyalah kejelekannya semata, berprasangka buruk, mengakibatkan rasa benci yang meracuni akal sehat kita. Dan kita pun sering mengambil kesimpulan bodoh. Memang tidak mudah melakukannya, untuk sekedar mengatakan jangan langsung terbawa emosi, tenangkan pikiran kita baru mengambila keputusan. Karena itu contoh yang dilakukan Rasul itu patut dicoba.

Kesimpulannya, sadarilah bahwa kita sedang berhubungan dengan manusia, bukan dengan mesin. Manusia punya perasaan seperti kata Seurius "rocker juga manusia", teman akan merasa sakit bila kita sakiti dan akibatnya dia akan balik menyakiti diri kita dan bahkan akan menanggalkan kata pertemanan ke tong sampah. Berilah waktu untuk berpikir, tapi jangan terlalu lama. Jika kita yang salah, mengapa kita tidak mengambil langkah untuk meminta maaf, jika dia yang salah, mengapa tidak kita dulu yang meminta maaf. Buat apa mengakibatkan dia terus marah. Begitu berhargakah kemarahan kita bila ditukarkan dengan persahabatan itu?
Bukankah setiap orang memiliki ego? Dan ego seseorang takkan turun jika dilawan dengan ego kita, karena ego tidak ada batasnya maka turunkanlah ego kita, dengan demikian maka (normalnya) teman tersebut juga akan menurunkan egonya.

end note :
Ini adalah kutipan inspirasional yang kuambil dari salah satu adegan di serial smallvile. Renungkanlah maknanya dan temukan nilai persahabatan itu kembali....
"Someone is not your last conversation you with but the whole relationship you have been through with them".
-Jermen Rilke

01 Februari 2009

Writing Unconditional Love

awalnya aku ingin menulis, agar melupakan waktu
tak bersyarat, bukan berarti tak bermaksud
menginginkan sesuatu tetapi setengah berusaha
akhirnya sia-sia, terlupakan waktu

memperumit kata, katanya demi kepuasan sendiri
lantas buat apa menikam pena didada
jika tak ada yang memuji diri ?
Waktu tak bersahabat bagi mereka yang berharap keajaiban

tiga baris paragraf dikemas rapi,layaknya penjual mengharapkan pembeli
menunggu dan menunggu, sekedarnya saja melontarkan harapan
lantas apa? Jangan biarkan keinginan abstrak menjajah hati
memilih untuk terus menulis, atau berhenti disini saja....

Seperti simpanan waktu, bagi yang tekun mempersiapkannya, keajaiban datang dengan sendirinya

Kesempurnaan itu Absurd (kritik terhadap iklan)

Absurd....
Mencari Kesempurnaan dalam hidup itu konyol. Sebuah kemustahilan karena kita diciptakan dengan sempurna namun juga tidak sempurna. Ada batas-batas dalam hidup yang tidak mungkin kita tembus (seperti ide untuk hidup abadi atau kembali ke masa lalu). Orang yang mengejar kesempurnaan pada akhirnya akan kelelahan dan menemukan dirinya masih jauh dari sempurna. Jika Kesempurnaan itu ada, ia hanya membatasi kita untuk selalu menemukan hal baru, belajar dari kegagalan, merenungkan kebijaksanaan kemudian hanya menjadikan kita congkak, hidup dalam tempurung. Akan selalu ada langit diatas langit, berhenti disatu lapisan, melihat kebawah dan mendeklarasikan inilah puncaknya hanya akan mengurung akal kita untuk melihat kemungkinan apa yang ada di atas.

Kesempurnaan itu seharusnya bukan patokan keberhasilan, melainkan suatu ukuran untuk menentukan kapasitas diri kita sendiri. Bahwa hanya ada satu zat yang pantas menyandang kata kesempurnaan, yaitu Tuhan. Yang dapat kita lakukan adalah untuk senantiasa menjadi lebih baik, lebih pintar, lebih bijaksana. Dengan itulah kita bisa memecahkan misteri dunia terbesar, hidup untuk belajar. Akan selalu ada bahan baru yang tersedia di dunia ini untuk kita pelajari, keingintahuan adalah modal terbesar bagi seorang pembelajar dan kemauan adalah tangga untuk mencapainya. Dengan menjadi tidak sempurna akan ada ruang bagi hasrat untuk mengembangkan minatnya, oleh karena itu bersyukurlah dilahirkan tidak sempurna.

Takdir manusia adalah selalu ingin tahu, sifat bawannya adalah mempertanyakan segala sesuatu. Kadang manusia terbawa gairah untuk selalu belajar dan menemukan sesuatu yang mungkin tampak tidak ada artinya. Tapi jauh dibalik itu, manusia hanyalah ingin memuaskan rasa keingintahuan akan segala sesuatu, bukan hanya tampak mencari jalan menuju kesempurnaan.

Lantas mengapa manusia memuja kesempurnaan, atau setidaknya tampak seperti itu bila dilihat di televisi?
Menurutku itu hanya propraganda iklan, mekanisme cuci otak yang dibuat sedemikian rupa oleh para kapitalis sehingga dunia kita tak terelakkan lagi darinya. Iklan membuat seolah-olah manusia tampil tidak sempurna, dan akan menjadi sempurna jika memakai ini-itu. Dan lebih buruk lagi, karena iklan itu sedemikian rupa jenisnya dan masing-masing mempropagandakan caranya sendiri-sendiri, penonton seolah-olah dibuat untuk terus menerus merasa kekurangan, tidak percaya diri dan kecanduan bila tidak memiliki produk tertentu. Bukankah itu menyesatkan? Karena pada dasarnya kesempurnaan fisik dan akal itu sebenarnya tanpa dimanipulasipun sudah demikian cukupnya. Yang diperlukan adalah rasa percaya diri dan keyakinan akan kemampuan diri sendiri.

end note :
aku menulis seperti ini bukan karena anti kemapanan atau anti kapitalis, ini hanya keprihatinanku pada gempuran iklan di media yang tak henti-henti. Menjaga penampilan dan mencintai keindahan itu memang wajar, tetapi jika tidak dibatasi oleh kesadaran diri sendiri akan menjadi liar, konsumtif, hedonis dan materialistik.

Takdir

Takdir. Satu kata yang selalu diperdebatkan peranannya dalam garis hidup manusia. Ia seperti diamnya waktu yang mengalir melewati kita, ia seperti butanya dewi fortuna saat menghampiri manusia, ia seperti tulinya kematian ketika manusia merengek untuk diberi satu lagi kesempatan. Kita selalu menyalahkan takdir namun di lain waktu juga selalu mensukurinya, kita kadang tidak paham bagaimana Tuhan merangkai kata takdir dan selalu salah mengartikan maksud kata tersebut. Kita hanya mengerti bahwa kekuasaan takdir ada padaNYA.

Kita memang tidak akan mampu merubah apa yang telah terjadi, tetapi kita tetap berkuasa penuh atas apa yang dapat kita lakukan, untuk menjadikan apapun yang terjadi sebagai alasan bagi upaya-upaya terbaik kita. Itu bisa saja itu tidak mudah, tetapi toh ada saja orang yang mampu melakukannya, jadi mengapa kita tidak. Satu fakta yang tidak bisa terbantahkan adalah, setiap orang bertanggungjawab terhadap dirinya masing-masing. Orang yang bertanggungjawab terhadap dirinya adalah orang yang mengendalikan takdir hidupnya. Orang yang selalu menyalahkan takdir adalah orang yang akan selalu mengulangi takdir yang sama. Untuk itulah mengapa kita belajar sejarah, salah satunya agar kita bisa belajar dari para pendahulu kita, agar tidak mengulangi salah yang sama.

Dalam Agama diajarkan Takdir itu absolut, tapi kita bisa memilih jalan mana menyambut takdir tersebut. Benar bahwa semua yang ada di dunia ini sudah ditakdirkan garis hidupnya, sudah ada sistem yang mengaturnya. Tapi kita sebagai khalifah dimuka bumi dianugerahi anugerah terindah yang tidak dimiliki mahluk apapun. “Kehendak bebas dari akal”. Kita bisa memilih jalan mana yang mau kita tempuh, mau berdiri atau duduk, mau berlari atau berjalan. Takdir yang menanti di garis finish kita pun sudah tersedia, dalam lauful mahfudz, tinggal menunggu untuk kita jemput. Baik itu baik atau buruk, segala kemungkinan takdir itu sudah menunggu kita, persoalaannya adalah jalan (takdir) mana yang kita maui.

Kita bisa memilih pasrah dan menerima nasib (takdir), atau bangkit dan berusaha maju. Semua terserah kita. Namun ada satu garis besar yang tidak mampu dilalui bahkan oleh mahluk seperti malaikat, yaitu kita tidak mungkin keluar dari sistem. Karena takdir itu adalah sistem. Kita bisa memilih jalan mana yang mau kita tempuh, tetapi kita tidak mungkin mendahului waktu. Kita bisa memilih mau berdiri atau duduk tapi tidak mungkin mengingkari gravitasi yang selalu mengikat kita ke bumi. Kita pun bisa memilih mau berlari atau berjalan tetapi tidak bisa membelah ruang.

Takdir yang menanti di garis finish kita sudah tersedia apapun pilihan kita saat ini. Analogi gampangya, kita yang ada saat ini adalah hasil dari apa yang kita lakukan berulang-ulang pada masa lalu. Apabila kita ingin merubah takdir kita saat ini, maka kita harus mengubah apa yang kita lakukan berulang-ulang (kebiasaan) saat ini. Logikanya, bila kita ingin masa depan tertentu, itu artinya kita harus menyesuaikan dan mendekatkan diri kita dengan upaya-upaya untuk bisa meraih masa depan tersebut.

Jika Takdir itu seperti gravitasi dan berjalannya waktu, maka setiap hukum fisika yang berlaku adalah takdir, sebuah kekuasaan maha dahsyat yang dipelihara dengan sempurna oleh Tuhan. Kita sebagai manusia hanya buang-buang nafas untuk mencari celah mengingkari sistem yang tidak mungkin ditiru oleh mahluk. Satu-satunya hal yang mungkin dapat kita lakukan adalah membelokkan sistem tersebut. Membengkokkan sistem, bukan melanggarnya. Contohnya, takdir setiap manusia adalah melalui kehidupan kemudian menjemput kematian. Ini tidak mungkin dirubah, tetapi ada hal yang bisa kita bengkokkan misalnya, menunda kematian dengan ilmu pengobatan, mensegerakan kematian dengan senjata api, dll. Apabila kita tidak melakukan apa-apa pun (hanya menunggu takdir), takdir itu juga akan mendatangi kita. Tetapi bukan takdir yang kita harapkan. Takdir yang kita harapkan tersebut tetap ada, hanya saja tidak kita pilih. Singkat kata, jika Takdir itu sistem, maka pilihan kita itu adalah peluang.

Maka jangan berkata “karena aku tidak mempunyai apa-apa maka aku pasrah saja, tetapi katakanlah karena aku hidup terbatas maka aku ingin maju, ingin merasakan hidup yang lebih baik lagi”. Jadikanlah keterbatasanmu kini sebagai alasan terkuat untuk perubahanmu. Itu jika kamu inginkan perubahan. Tetapi dalam setiap perubahan yang kita inginkan, berhentilah untuk menggapai perubahan demi mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan itu hanya hayalan iklan dan imajinasi film. Faktanya tidak ada kesempurnaan hakiki di bumi ini.

29 Januari 2009

A hollow Soul

Pagi hari ini kubuka kelopak mata dengan jiwa yang terasa kosong, seperti selongsong peluru yang telah ditinggalkan dari tubuh senjata, kehilangan tujuan setelah diusir pelatuk dan terjatuh di tanah dingin di negeri antah berantah seakan dilupakan begitu saja oleh peradaban. Akupun bertanya, Sia-siakah selama ini nafasku terumbar memburu angin liar kehidupan, kemanakah sesungguhnya penaklukan waktu ini membawaku ? Aku tak henti-henti menghela nafas mencari petunjuk dalam kamus hati ini hanya untuk menemukan diriku telah tersesat...

Ku sadari pagi ini tak ada bedanya dengan pagi-pagi lainnya. Begitu pula dengan kehampaan ini, pernah kurasakan sebelumnya. Hanya saja kala itu aku memutuskan untuk lari menjauh, menenggelamkan kendi kekosongan itu kedalam rutinitas menjemukan seolah-olah tak pernah terjadi. Hanya kemudian menyadari bahwa kehampaan itu tak terpengaruh dengan gravitasi, kembali mengambang terbawa arus kemudian di sungai waktu. Apa yang salah dengan jiwaku ini? Mengapa dada ini seperti berlubang menganga hingga tembus kebelakang, seolah-olah tak dikenal lagi organ hati.

Apakah arti ini semua? Mungkinkah ini pertanda dari Sang Maha, untuk mencari kerinduan yang hilang dari kalender kehidupan? Untuk kembali mempertanyakan tujuan kehidupan, mencari makna keberadaan diri sendiri yang seolah takterjawabkan oleh waktu? Sampai saat ini hidupku hanya disusun oleh bata-bata persepsi, asumsi yang mendefinisikan kenyataan didepan mataku. Konsep menjalani kehidupan yang kabur seperti masa depan yang tak tertebak. Begitu rapuhnya terguncang oleh fantasi dan prasangka.

Aku sendiri hanya berharap hidup ini (mungkin seperti manusia pada umumnya) dapat mencukupkan pengetahuanku, kebutuhan lahir batinku, kemudian bersyukur atas segala nikmat hingga aku dapat menaklukkan keinginan liarku sendiri. Aku berharap hidup ini dapat memberikan manfaat, bukan demi ucapan terima kasih tetapi agar aku bisa mengabdikan waktu ini tidak dengan sia-sia, karena aku sungguh kesepian bila semua keinginkan itu demi aku sendiri. Dan terakhir aku ingin mengenal Tuhan, sebaik beliau mengenalku. Bahwa kusadari hidup ini adalah anugerah terbaik, maka jangan terlalu terlena dengan keterpurukan sementara, masih ada cahaya benerang yang menanti diujung jalan jika kita masih percaya.

Seharusnya tujuanku telah jelas kuikrarkan dahulu, namun kumerasa kehilangan arah dalam mencarinya. Tersesat dalam kebosanan waktu yang mengikis perlahan semangat.
Setiap manusia harus memiliki tujuan, tujuan dalam kehidupan yang harus kita cari sendiri. Kita tidak bisa mengelak dari pencarian ini, sebagaimana kita tak bisa mengelak untuk bertambah tua. Karena tujuan inilah yang mendefinisikan eksistensi kita, kebahagian kita dan jati diri kita. Kita akan terus menerus merasa tak pernah benar-benar bermakna, tersesat mencari kebahagian semu, dan terombang-ambing pendapat orang lain jika tak menemukannya. Jika waktu yang dibentangkan kepada kita hanya satu arah, maka seharusnya tujuan itu harus bermakna, karena kita tidak punya cukup waktu untuk terus menerus mengejar kesia-siaan, seperti yang kadang didendangkan oleh kemalasan kita.

Karena hidup ini hanya sekali, aku bersyukur Keabadian itu bukan milik dunia, karena sungguh kesepiannya menjadi abadi sementara yang lain tidak. Betapa membosankannya hidup jika harus menatap waktu yang terus berubah sementara kita tidak. Meskipun betapa mulianya keinginan menjadi abadi, hidup ini akan lebih bermakna bila kita cukup menjalaninya sekali saja, tidak berulang kali karena hanya membuat makna dan tujuan hidup kita murahan.

End Note :
Manusia cenderung baru mengerti pentingnya sesuatu ketika sesuatu itu telah direnggut darinya. Kita tak harus menunggu sampai benar-benar kehilangan untuk membuktikannya. Maka Tunjukkanlah kita benar-benar menghargainya dengan segera menemukannya kemudian setia padanya,

25 Januari 2009

Logika Bunuh Diri

####################################################################
Apakah esensi kehidupan itu…..

Jika setiap mahluk yang telah dilahirkan itu ditakdirkan untuk mati, lantas buat apa kita hidup ?

Buat apa kita diperkenalkan gegap gempita keindahan hidup ini jika pada akhirnya harus diakhiri dengan perpisahan yang menyedihkan.

Apa maksud semua ini, kenyataan ini seperti mimpi indah bercampur mimpi buruk yang tiba-tiba terpotong ketika bangun tengah malam kemudian lupa ketika berusaha mengingat sedang mimpi apa barusan, dengan kata lain hidup ini hanya omong kosong !

Lantas jika beban kehidupan ini harus ku pikul sendirian sehingga ku tak sanggup menghadapinya, lantas buat apa ku harus memperpanjang hidup yang menyedihkan ini, buat apa ku harus menggantungkan harapanku pada sesuatu yang belum tentu datang. Mengapa tidak sekarang saja kuakhiri agar enyahlah sudah kepedihan ini dari hatiku.

Maka demikianlah pembelaan manusia yang memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri….

####################################################################


Memang butuh kesedihan dan keterpurukan yang luar biasa untuk sampai pada kesimpulan ini, tetapi banyak dari kita secara tidak sadar pernah sampai pada titik ini meski tidak sampai berani menyatakan diri sendiri untuk mencoba mengakhiri kehidupan. Coba saja renungkan, pasti ada satu dua peristiwa dalam hidup kita yang membuat kita begitu kehilangan semangat hidup lantas mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk ini.

Bagi sebagian besar orang, bunuh diri adalah perbuatan yang tidak masuk akal, konyol, bodoh, tidak beriman, dan pengecut! Tapi toh ada saja orang yang bunuh diri meskipun ia seorang terpelajar maupun beragama. Pertanyaannya sekarang, bukanlah mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan oleh para pelaku “self destruction” itu, tetapi lebih kepada memahami bagaimana mencegah perilaku itu agar kita jangan sampai tertular keputus asaan serupa.

Untuk memulainya, sebenarnya yang perlu dilakukan cukup sederhanya. Cukup bersyukur terhadap apapun yang terjadi dalam kehidupan kita.
Keterpurukan kita, seburuk apapun itu akan menjadi kekalahan jika kita memutuskan untuk berhenti berharap, terus menganggap diri kita sebagai orang terburuk, tersial, tersedih diseluruh dunia. Mengasihani dan menyakiti diri sendiri dalam berbagai rupa sebagaimana yang dianggap banyak orang, justru tidak akan mendekatkan diri kita pada Perubahan nasib. Nasib itu tidak akan peduli, apakah kita merajuk ataupun bergembira. Sebetulnya, dunia beserta isinya inipun tidak akan peduli pada apapun yang kamu keluhkan. Satu-satunya orang yang bisa dimintai pertanggung jawaban adalah kamu sendiri, maka putuskanlah untuk peduli pada nasibmu sendiri.

Jangan pernah kita sampai pada kesimpulan untuk mengakhiri kehidupan tetapi terlalu takut untuk menghadapi kematian secara jantan, lantas memilih cara-cara pengecut seperti mempercundangi diri sendiri, mengasihani diri sendiri, atau mungkin hidup dengan cara seorang pecundang.

Jangan menyerah pada kehidupan ini, karena Tuhan pun tidak berhenti menyerah pada kita, meskipun manusia berbuat dosa yang tak terampuni dan membantah kekuasaannya. Jika kamu termasuk manusia yang memenuhi panggilan Sang Maha lima kali sehari, Bukankah ketika kita sujud itu artinya kita mengakui kekerdilan diri kita dihadapan sang Maha, betapa tidak bermaknanya kekuatan kita dimata sang Maha, tetapi toh itu bukan berarti Tuhan tuhan tidak menganggap kehadiran kita tidak bermakna. Buktinya waktu terus mengalir dan kesempatan selalu datang memberkahi kita dengan kemungkinan-kemungkinan memperbaiki nasib.

Logika bunuh diri. Apakah itu karena kita kurang memahami agama, sehingga pemikiran sempit itu menawarkan jalan pintas mengakhiri hidup ataukah kita terlalu "menghayati" keterpurukan itu sehingga tidak sadar akan keindahan dibaliknya. Seperti kata pepatah, "kamu bisa terus mengeluhkan mengapa mawar memiliki duri, ataukah bersyukur telah memiliki mawar"

Kehidupan ini benar-benar menawarkan begitu banyak keindahan daripada kematian, karena kematian itu begitu misterius dan tak terduga sementara kehidupan itu nyata dan saat ini. Maka bergembiralah dalam kehidupan dan buka mata pada kesempatan. Setiap mahluk yang terlanjur hidup cepat atau lambat pasti akan mati, sebagaimana segala sesuatu yang memiliki permulaan pasti ada akhirnya. Yang menjadi tugas kita sebenarnya bukan mengeluhkan persoalan mengapa ada kehidupan atau kematian, melainkan adalah mengisi kehidupan yang telah dianugerahkan kepada kita untuk berbuat kebaikan, agar kelak dipenghujung nafas, kita tidak menyesal. Bukan menyesali kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat, tetapi lebih kepada penyesalan telah melewatkan banyak kesempatan untuk berbuat kebaikan yang bermanfaat bagi sesama.

Segala permasalahan hidup kita sebetulnya sudah ada jawabannya pada saat permasalahan itu menghampiri kita. Yang perlu kita lakukan adalah membuka mata, mencarinya. Jangan terlalu serius memelototi permasalahan itu, seolah-olah akan hilang begitu saja dengan harapan kita...

Memaafkan Seseorang

Setiap manusia pasti pernah mengecap rasa marah, baik kepada orang asing maupun pada orang yang dikasihi. Setiap orang juga pasti pernah memuntahkan rasa marah tersebut kepada si penyebab rasa marah yang biasanya dilakukan secara berlebihan dan kemudian menyadari bahwa menuruti nafsu marah itu justru membawa luka yang lebih dalam pada hubungan dengan orang tersebut. Lalu bagaimanakah sebaiknya mengelola rasa marah tersebut agar tidak kembali memukul kita dibelakang?

Apakah Anda sering marah kepada orang yang seharusnya dikasihi, seperti pasangan atau orang tua? kemarahan yang begitu tak tertahankan karena penyebab kemarahan itu selalu diulang-ulang? Merasa tidak berdaya atas keadaan Anda, merasa tidak dianggap, kemudian frustasi dan melampiaskan kemarahan itu dengan kata-kata kasar berharap orang terkasih itu menjadi mengerti kekalutan hati Anda, namun yang terjadi biasanya justru sebaliknya. Kemarahan hampir selalu dibalas dengan kemarahan, kesedihan, kebencian, dan terburuk... rasa dendam!

Melampiaskan bara kemarahan itu ibarat api yang melahap segala yang ada, hanya abu kehampaan dan penyesalan yang menanti. Tetapi menelan sendiri kemarahan itu hanya justru menyebabkan rasa semakin sesak di dada, meracuni kepala dengan imajinasi destruktif dan berpotensi menumbuhkan penyakit hati. Lantas apa yang bisa kita dilakukan? Menghindari rasa marah justru tidak mungkin, karena bahkan petapa yang hidup menyendiri di pegunungan juga bisa terkena rasa marah. Bersikap tidak peduli pada segala sesuatu juga tidak bisa membantu, karena rasa marah tidak bisa hilang dengan ketidakpedulian. Satu-satunya kekuatan yang bisa menaklukan rasa marah itu adalah rasa Cinta.

Sudah banyak lagu yang mengeksploitasi kata cinta, tetapi banyak dari kita yang selalu bersenandung syair cinta justru kalah ketika rasa cinta itu diuji dengan kemarahan. Sudah banyak pula dari kita yang merasakan anugerah Cinta sejati dan terheran-heran akan definisi cinta, namun ketika dihadapkan dengan kemarahan justru banyak dari kita kembali kesifat dasar kita yang selalu mementingkan diri sendiri diatas pengorbanan cinta kemudian bertekuk lutut pada amarah yang memburu. Sudah lupakah kita pada janji kita dulu pada diri kita sendiri, bahwa kita akan selalu memberikan yang terbaik bagi orang yang kita kasihi, mengabdikan waktu kita demi kebahagiaannya? Namun apa yang terjadi, semudah itukah kita menyerah kalah?

Tak tahukah kita, bahwa bibit rasa marah yang ditanamkan di dada kita itu adalah bagian dari rencana Tuhan, sebagaimana hidup kita. Bahwa kehidupan kita dengan orang yang kita kasihi itu justru akan semakin berwarna apabila dengan rasa marah itu kita bisa lebih saling memahami, alih-alih saling menyalahkan. Bahwa dengan dengan rasa marah itu Tuhan ingin kita menyadari, seberapa tuluskah kita mengkasihi, seberapa jujurkah janji kita pada diri kita sendiri. Bahwa Tuhan itu sangat peduli pada kita dengan memberikan rasa marah itu. Karena Tuhan ingin kita menjadi orang yang hebat dalam kehidupan ini dengan menaklukan nafsu pelampiasan kemarahan itu. Bayangkan saja jika kekuatan cinta itu tidak diuji dengan kemarahan, tentu ia menjadi biasa saja dan sungguh membosankan bila hari-hari selalu monoton dengan kebahagiaan selamanya.
(Meskipun "live happily ever after" itu selalu menjadi tema roman percintaan, namun pada prakteknya sungguh tidak masuk akal)

Lebih lanjut lagi, memaafkan seseorang (termasuk orang yang kita cintai) tidak membuktikan bahwa kita dipihak yang salah, lemah, kalah, dan tidak berdaya. Karena apa yang dibisikan hati ketika kita marah adalah tidak benar karena cenderung sudah terkontaminasi dengan kekuatan negatif. Satu hal yang pasti, memaafkan orang yang kita cintai, meskipun itu tampaknya adalah perbuatan yang tak termaafkan membuktikan seberapa besar jiwa kita, seberapa lapang rasa ikhlas kita. Bukan demi orang yang kita kasihi, namun sebagai bukti bagi diri kita sendiri. Ada peribahasa bahwa Manusia akan menunjukan sifat aslinya ketika ia marah, karena itu buktikanlah pada diri kita sendiri, seberapa tangguhkah rasa cinta kita ketika diuji dengan kemarahan.

Bahkan manusia tersuci seperti Nabi Muhammad pun pernah marah, namun sejarah tidak pernah mencatat beliau pernah menyerahkan kemarahan itu pada bisikan syetan. Itu karena Beliau mengerti dan berharap kita bisa belajar darinya, bahwa kemarahan selayaknya rasa cinta dan kebahagian adalah bagian dari ujian kita di dunia. Jika kita berharap akan menjadi orang besar maka bersikaplah seperti orang besar, yang dikagumi orang lain akan kebesaran hatinya.


Akhir kata, Memaafkan seseorang itu butuh jiwa yang besar, melampaui rasa marah dengan kasih sayang itu lebih sulit lagi, maka tidak banyak yang bisa melakukannya. Namun bagi yang mampu, Tuhan sudah menjanjikan baginya kehidupan yang lebih baik...


(aku tulis curahan hati ini setelah berhasil mengelola kemarahan luar biasa pada orang tuaku yang membuatku frustasi, yang hampir saja membuatku kehilangan akal terbaikku untuk menyerahkan mulut dan sikap pada bisikan jahat)

14 Januari 2009

New Year Note ?

Sebenarnya buat apa sih kita selalu merayakan malam tahun baru? Apakah latah mengikuti trend seperti yang digembor-gemborkan di televisi atau mengikuti orang lain, seolah-olah tahun baru akan menghibahkan waktu baru bagi kita, awal baru, kesempatan baru, melupakan kesusahan-kesusahan yang terjadi di tahun yang lama. Ini adalah beberapa catatanku mengenai tahun baru :

1.Seharusnya kita mengisi tahun baru ini dengan semangat baru, harapan baru dan resolusi pribadi baru. Tapi apakah kita bisa mencapai tujuan-tujuan kita jika sikap dan perilaku kita masih lama? Lantas apakah sebenarnya tujuan kita di tahun yang baru ini? Bukankah masih sama dengan tahun yang lalu, seperti mengulang harapan yang lama di tahun yang baru. Berharap nasib akan menjodohkan asa kita dengan kenyataan. Lantas bila tidak terkabulkan maka kembali diulang ditahun baru berikutnya. Pantaskah kita merayakan malam tahun baru dengan eforia dan suka cita jika kita sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya kita inginkan di tahun yang baru?. Pantaskah kita menjejakkan kaki diwaktu yang baru dengan memanjatkan doa pada yang Maha, memohonkan kebaikan akan turun mengisi hari-hari kita, jika kita masih mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, mempertahankan kebodohan dan kemalasan kita dan terus memberikan alasan penundaan pada upaya memperbaiki nasib yang dibisikkan oleh hati kecil kita?

2.Tahun yang berlalu seharusnya ditutup dengan suatu pengalaman yang berharga. Bahwa kita telah melakukan apa yang harus kita lakukan, belajar dari kegagalan dan kesedihan kita, keluar dari keterpurukan diri dan bertekad mengisi waktu yang baru bukan dengan kesedihan yang sama. Tapi bagaimanakah kita bisa belajar dari kekalahan, kegagalan dan kesedihan itu jika kita terus menganggap apa yang terjadi pada tahun yang lalu sebagai kesialan, kesalahan nasib dan ketidakadilan sang Maha? Kita harus menurunkan gelas pemahaman kita, agar air pemahaman baru bisa mengganti air persepsi kita yang lama. Kita harus mau mengakui kekalahan kita, agar bisa melangkah dengan semangat baru.

3.Lantas apakah yang kau harapkan di tahun yang baru ini ? banyak orang memulai tahun baru dengan semangat baru, harapan baru, lantas menjadi lupa di bulan berikutnya dan kembali terpuruk di persoalan yang sama. Kenangan itu bukanlah album foto yang bisa kita lihat-lihat dan mengatakan dalam hati kata seandainya. Kenangan itu adalah kenyataan dimasa lalu, yang sesungguhnya bisa kembali terjadi dimasa kini dan masa yang akan datang, jika kita menolak untuk belajar dan mencoba hal yang baru. Seperti kata pepatah, “Seseorang yang tidak belajar dari sejarah, akan dikutuk untuk mengulangi hal yang sama di masa yang akan datang”

Tahun baru menghibahkan banyak hal. Tapi sebenarnya tahun baru itu sama seperti hari hari lainnya, ia hanya pengulangan hari saja, suatu peristiwa yang menjadi bermakna karena manusia memutuskan untuk merayakannya. Yang menentukan ia lebih bermakna adalah kita sendiri. Apakah di tahun baru ini kita memutuskan untuk “berubah” ataukah hanya mencari-cari alasan saja?

Selamat tahun baru…..

07 Januari 2009

Catatan Awal Tahun

Ini adalah beberapa hal yang kupelajari selama tahun 2008 :

Keping Pertama : Takdir

Selama ini aku mengharapkan takdir akan datang menjemputku, meminangku dan membawaku ketempat yang aku tuju. Di suatu masa di masa depan yang berkilau dan indah. Maka aku menunggu dan menunggu, atas nama harapan kutunggui takdirku didepan pintu asaku. Dan setelah bertahun-tahun ku tunggu, takdir itu tak kunjung datang membawa berita kedatangannya. Aku baru saja menyadari, bahwa apa yang kulakukan hanyalah lamunan seorang pemalas yang mengharapkan surga menghibahkan mukzizatnya didepan pintu rumahku tanpa harus ku keluar rumah disengat matahari terik. Dan aku menyesal, menyesali kebodohanku menunggui yang tak ada, menyembelih waktuku pada penantian yang percuma dan sia-sia.

Dari sini aku belajar, dan baru menyadari arti kata pepatah : “kita harus melakukan apa yang kita harus lakukan, sampai takdir mengungkap jalannya”. Aku ingat kata-kata ini entah dari buku mana yang ku baca, namun baru kini aku menyelami maknanya. Sebetulnya aku sudah tahu bahwa takdir itu adalah lembaran kosong dalam waktu, dimana kita bebas menuliskan apa saja, mencoret-coretnya atau malah mendiamkannya (seperti yang telah kulakukan selama ini). Kita tidak pernah tahu bagaimana takdir dan nasib membentuk masa depan kita, dan karena itu pula kita juga tidak bisa mengharapkan yang terbaik selalu datang menjemput kita. Jika tak ada satupun manusia yang bisa memesan takdirnya di masa depan, maka perbuatan pasrah dan menunggu sebenarnya adalah perbuatan konyol, lebih konyol daripada peribahasa pungguk merindukan rembulan.

Seharusnya yang kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita agar apapun takdir yang akan datang kehadapan kita, kita bisa lebih matang menghadapinya. Seperti kata Mario Teguh, kita pantas mendapatkan masa depan apapun yang kita inginkan, jika saja kita juga memantaskan diri kita menerima masa depan tersebut. Dalam agama ditegaskan bahwa kata pasrah itu menjadi halal dilakukan bila segala daya upaya telah kita upayakan untuk mengejar tujuan kita. Bersikap pasrah, menerima apa adanya takdir yang disajikan dihadapan kita tanpa berbuat sesuatu dalam persiapannya, menurutku adalah sikap yang tidak pantas bagi seseorang yang dalam setiap doanya memohonkan masa depan yang hebat, besar dan bersinar.

Dari sini aku belajar, dan menyatakan pada diriku sendiri agar tidak boleh ada lagi lembar kosong yang terobek sia-sia oleh waktu tanpa kuisi dengan perbuatan yang berguna demi menjemput tadir yang kuingini. Semoga tekad ini bisa tetap kujaga kibarnya di waktu hidupku. Toh pada akhirnya, kita akan lebih menyesali perbuatan-perbuatan yang seharusnya kita lakukan tapi tidak kita lakukan, daripada menyesali perbuatan-perbuatan salah yang kita telah kita perbuat. Waktu itu tidak terbatas, tapi waktu kita didunia ada batasnya. Karena itu sebaiknya kita pergunakan waktu yang kita tak tahu dimana akhirnya ini benar-benar berguna, agar tidak ada penyesalan lagi diujung nafas kita kelak (karena penyesalan sesudah itu tidak bisa kita perbaiki lagi begitu kita meninggalkan dunia fana ini).

Keping Kedua : Impian

Bagaimanakah kita mendefinisikan impian ? aku sendiri berpendapat, impian itu adalah batu bara yang membakar semangat kita, kompas yang menentukan arah langkah kita dan jangkar yang membuat kita tetap berlabuh ketika didera ombak-ombak cobaan kehidupan. Impian setiap orang itu pasti berbeda satu dengan lainnya, namun secara garis besar ia harus lebih besar dan lebih hebat daripada keadaan kita sekarang dan untuk mencapainya dibutuhkan perjuangan ekstra, bukan sekedar “walking in the park”.

Lalu seberapa jauhkah impianku kini membawaku? Bila kupikirkan lebih dalam maka jawabannya adalah “tidak kemana-mana”. Yang aku sadari kini impian-impian yang kutulis dengan tinta emas dalam lubuk hatiku dulu, kini masih sama, hanya saja semakin kusam tertutup berbagai persoalan hidup kemudian semakin tenggelam terlupakan waktu. Lalu apa yang telah kulakukan agar aku bisa menarik impian itu dari tidur malamku kedalam kesadaranku? Mungkin jawabannya adalah tidak ada!! Aku sedih dan menyesal, lalu merenungi apa salahku. Apakah impianku terlalu besar hingga tak kuat untuk digantungkan di langit malamku? Ataukah aku kurang berusaha membangun anak tangga guna menggapainya?

Yang tidak kusadari mungkin adalah kekalahanku memegang teguh impianku dari kata hatiku sendiri, sehingga aku mudah terbuai dan terbujuk oleh alasan-alasan penunda keberhasilanku kemudian memasrahkannya pada takdir belaka. Aku mungkin terlalu mudah teralihkan, sehingga impianku sendiri menjadi terabaikan. Dan ketika impian-impian itu menagih janjinya padaku, yang ku utarakan hanyalah alasan demi alasan pemaaf mengapa aku belum bisa memulainya. Kemudian tanpa kusadari itu menjadi kebiasaan yang terlatih, sehingga akupun menutupi kekecewaanku itu dengan impian-impian lainnya dan begitu seterusnya. Dan akhirnya ia menjadi hilang tingkat kesakralannya, menguap menyisakan abu yang bernama “lamunan”, yang begitu mudahnya terbang bila tertiup angin semilir.

Dari sini aku belajar, bahwa impian itu harus kongkrit, terarah dan tegas. Kita tidak bisa hanya mengatakan impianku adalah menjadi orang sukses. Menanamkan sugesti seperti itu hanya akan membuat hidup kita tidak terarah, karena ukuran sukses itu berbeda-beda dan multi tafsir. Sehingga pada akhirnya ketika tenggat waktu impian tersebut hampir habis, kita dihadapkan pada realitas yang membingungkan kita sendiri. Dan akhirnya kita diharuskan menerima kenyataan tersebut sebagai buah impian kita dulu, yang dalam hati kecil kita menganggap impian tersebut telah terwujud dalam skala “bonsai”, lalu kita pun beralasan, toh setidaknya impian tersebut sudah terwujud….. seperti itukah yang kita inginkan? Seberapa besar kita menginginkan impian kita itu terwujud menentukan seberapa jauh batas perbedaannya antara impian kita dan lamunan belaka. Jika Impian itu cenderung bersifat abstrak maka realisasinya pun dipastikan tidak kongkrit atau “tergantung suasana hati kita menginginkannya”. Oleh karena itu pula banyak impian-impian kita yang menjadi sekedar lamunan belaka, ketika kita menyadari gurun pasir beserta badainya yang harus kita lalui demi menebusnya. Dan akhirnya kita pun rela menukar impian mulia kita tersebut dengan ukuran yang lebih kecil, jauh lebih kecil sesuai dengan tingkat kenyamanan kita mencapainya.

Keping Ketiga : Tekad

Tekad adalah tangan-tangan yang menjalankan perintah impian-impian kita. Ia adalah api yang menyala dari hasrat impian kita untuk menerangi jalan gelap yang ada di depan kita. Tekad itu tidak berwujud bila kita sendiri tidak tahu apa yang kita inginkan. Sepanjang tahun 2008 ini aku telah memikirkan sejumlah kemajuan dibanding tahun sebelumnya, dan kesimpulannya adalah tidak jauh lebih bermutu dari tahun-tahun sebelumnya. Aku selalu terjebak dipermasalahan yang sama, yang sesungguhnya menjemukan untuk diceritakan karena begitu seringnya aku mengulangi kesalahan ini. Masalah itu adalah, apa tekad sejatiku dalam hidup ini? Suatu pertanyaan yang menjeratku berulang kali karena ada begitu banyak variasi jawaban yang sudah kukemukakan. Aku adalah ibarat seseorang yang pergi melaut dengan sebuah kapal, dan kemudian berhenti ditengah tengah untuk menemukan arti bahwa aku sebetulnya telah tersesat. Aku tersesat karena aku sendiri tidak mengetahui kemana tujuanku berada, aku hanya terombang ambing kesana kemari oleh ombak dan tidak mengerti membaca posisi. Bagiku impianku itu nyata dan ada diluar sana, namun ia begitu abstrak sehingga jalan yang harus kulalui itu aku sendiri tidak tahu ada dimana. Lalu kemanakah tekad ini harus membakar semangatku untuk mengayuh, dan bila kupikirkan lagi, bagaimana mungkin aku bisa tersesat jika aku sendiri tidak bisa mengetahui arah pelabuhan terdekat yang ingin kutuju.

Hidup ini ibarat lautan lepas yang bisa mengayunkan berbagai kemungkinan. Dan jika kapal yang kita naiki ini adalah waktu hidup kita, alangkah sia-sianya hidup ini jika dihabiskan untuk terombang ambing mengikuti arus, yang pada akhirnya tidak membawa kita kemana-mana. Betapa sia-sianya jika kita tidak sempat melihat kehebatan petualangan-petualangan yang mampu ditawarkan oleh kehidupan ini, sehingga kelak kita bisa bercerita dengan mata berbinar-binar. Seperti kata pepatah, ”Bagi yang sedang tenggelam, gerakan apa pun selain gerakan tenggelam adalah pilihan yang lebih baik”. Aku dan pilihanku sudah terbukti keliru. Aku terlalu banyak terlena oleh angin laut yang mengalihkan tujuanku dan begitu terbuai oleh ombak yang mendayu-dayu mengayunkan perahuku kekiri dan kekanan. Seharusnya aku sadar sedari dulu, bahwa jika aku terlalu santai menikmati kehidupan yang tersaji dihadapanku, maka aku takkan siap menghadapi badai yang sering datang tiba-tiba. Itulah sebabnya aku selalu tercebur dan nyaris tenggelam dalam setiap badai yang menerjang, kemudian bangkit dan selalu bertanya-tanya mengapa sampai tenggelam.

Tekad dalam hatiku menjadi lemah untuk diuji dengan pahit getir kehidupan, karena aku lebih sering mempertanyakan tujuan, beretorika dalam monolog batin, mengkonfrontir tujuan hidupku sendiri alih-alih segera keluar dari air dan segera mendayung perahu. Aku sering kali menertawakan dalam hati kecilku sebuah falsafah jawa yang berbunyi ”alon-alon waton kelakon”. Namun tanpa kusadari aku malah termakan filosofi itu. Seperti kata andri wongso, ”jika anda tidak keras terhadap kehidupan, kehidupan akan keras terhadap anda”. Aku sedari dulu mengerti arti kata itu, namun untuk menjabarkannya kedalam aksi ternyata lebih banyak pertentangannya dari dalam diri. Betapa memaksa diri untuk keluar dari ”comfort zone”, bertempur berdarah-darah untuk menemukan diri sendiri masih gagal itu sungguh lebih berat jika dibayangkan. Dan akhirnya, kita ( dan terutama aku) lebih sering mengabaikan nasehat-nasehat orang dengan dalih itu belum tentu bisa diterapkan. Aku sering lupa, bahwa menyibukkan diri menganalisis persoalan tidak memabawaku kemana-mana kecuali segera bergerak kemana saja dengan sisa tekad untuk segera keluar dari lubang masalah tersebut.

Dari sini aku belajar, bahwa untuk mencapai impian kita itu tidak harus mengerti arah pasti yang harus dituju. Arah tujuan tidak harus sempurna dan perbuatan kita tidak harus sesempurna mungkin. Menjadi perfeksionis tanpa cela hanya menuntun kita untuk tidak berbuat apa-apa, menonton pertunjukan kehidupan dari sisi penonton lalu berkomentar ini-itu seolah-olah kita bisa melakukannya dengan lebih baik. Betul jika hidup itu harus hebat dan bersinar namun mengejar kepuasan dengan berbuat sesempurna mungkin sering kali membuat kita menderita, bukan saja karena kesalahan yang diperbuat, namun juga lebih karena kita merasa lebih sering berbuat kesalahan daripada yang benar. Lalu aku belajar, tahun ini aku akan berbuat lebih banyak, melakukan aksi lebih banyak tanpa khawatir jika kala-kalau seandainya. Berbuat kesalahan itu tidak lebih dari bergabung dengan umat manusia, dan mengambil pelajaran darinya adalah satu poin tambahan yang mampu mengangkat harga diri kita dan membedakan diri kita dengan sisa manusia lainnya.

Keping Keempat : Alasan Penunda

Menunda-nunda pekerjaan sama artinya menunda datangnya keajaiban kedalam kehidupan kita. Penundaan satu pekerjaan adalah pemotongan satu waktu senggang kita di esok hari. Penundaan adalah racun bagi semangat kita dan jelaga yang menutupi hati kita dari pengupayaan keberhasilan. Ada begitu banyak alasan untuk berhenti menunda-nunda namun mengapa banyak dari kita masih menyimpan kebiasaan ini dalam hati kita. Aku sendiri adalah salah satunya. Sedemikian akutnya penyakit ini menjangkit hatiku kini, hingga menjadi borok yang selalu mengalihkan perhatianku melihat kesempatan-kesempatan baru. Hingga kini selalu menjadi kambing hitam yang kupersalahkan ketika doa-doaku tak kunjung terjawab. Betapa aku muak dengan kebiasaan ini namun di sisi lain begitu susahnya membuangnya. Apakah ini sudah menjadi penyakit menahun yang kini membentuk jati diriku ataukah keenggananku sendiri adalah alasannya?

Yang jelas, penundaan adalah biang keladi atas segala kerepotan yang menimpaku ketika tenggang waktu suatu pekerjaan semakin menghimpit. Penundaan adalah penyumbang terbesar atas kegagalanku dalam mencapai sesuatu dan mungkin merupakan kesalahan terbesarku sepanjang hidupku. Kadang akupun berseloroh, bahwa justru karena penundaan ditambah faktor deadline itulah yang membuat adrenalinku menyembur dan mengalirkan ide-ide yang sebelumnya buntu. Tentu ini benar jika dalam keadaan darurat, namun masalahnya jika untuk setiap urusan diharuskan melalui ritual penundaan ini, bukankah efeknya bisa seperti efek domino? Akhirnya aku juga yang menjadi kelelahan. Kadang aku berpikir bahwa penundaan itu ibarat waktu istirahat sejenak yang dibayar dimuka, namun jika keterusan maka bunganya bisa mencekik dan bila sudah jatuh tempo tidak segera dikompensasikan bisa menyebabkan kolaps. Disitulah letak perangkapnya, jika jiwa sudah merasakan enaknya waktu senggang (waktu istirahat) sungguh sulit jika harus kembali bekerja, kemudian hatipun berkata “mengapa tidak berleha-leha dulu saja….”

Dari sini aku belajar, bahwa untuk mengatasi sifat menunda-nunda ada dua kunci utama. Pertama adalah Tekad untuk berubah disertai akal yang selalu mengakar pada realitas, bahwa penundaan di masa sekarang adalah dua kali waktu sibuk di esok hari. Kedua adalah disiplin untuk selalu menunaikan urusan terlebih dahulu baru pantas mendapatkan waktu senggang / waktu istirahat. Melakukanlah sesuatu yang selama ini telah aku ketahui harus aku lakukan adalah bagian dari rasa tanggung jawab, dan penundaannya menjadikan aku merasa berhutang, merasa terlambat, dan telah membuat aku merasa tidak bertanggung-jawab, adalah bukti bahwa aku masih memiliki akal sehat untuk menalar suatu penundaan. Untuk itu diri ini perlu dipecut, perlu di paksa untuk tidak selalu menunda, perlu dilatih untuk tidak selalu melihat jam demi melihat kesempatan untuk menunda-nunda. Dan yang terpenting, meski memulai sesuatu yang baru itu sulit, namun melangkahkan kaki pertama itu tetap harus dilakukan bagaimanapun kita memikirkan cara lainnya yang lebih mudah.

Keping Kelima : Ketidakpedulian

Seiring bertambahnya usia, manusia cenderung bersikap tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, tenggelam kedalam persoalan hidupnya dan persoalan pribadinya. Mungkin seperti Itulah yang kini sedang kurasakan. Berbagai permasalahan yang menghimpitku sepertinya mengalihkan pandanganku terhadap masalah sebenarnya yang seharusnya sudah kusadari. Berbagai peristiwa tahun lalu membentuk persepsiku akan realitas dan keyakinan memandang dunia. Betapa hidup ini ternyata begitu paradoks bila kita terus mempertentangkan satu hal dengan lainnya. Misalnya saja, semua manusia itu cenderung individualis (mementingkan dirinya sendiri) namun disisi lain juga membutuhkan untuk berkerumun membentuk suatu komunitas masyarakat. Apakah itu karena setiap manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri ataukah karena dengan kebersamaan memenuhi rasa aman dan bebas rasa curiga dengan sesama manusia lainnya?

Kesenanganku dalam mempertanyakan pertanyaan filosofi ternyata tidak mendekatkanku pada jawaban yang kucari. Dan akhirnya kuterjebak pada kegaduhan argumen dalam otakku sendiri yang saling bersautan, aku pun menjadi pribadi yang tidak peduli justru pada persoalan yang hakiki. Menurutku Hidup ini tidak harus dijalani seperti mengalir begitu saja, karena kita hanya memiliki waktu sekali saja maka bukankah percuma jika Cuma dilewati dengan melakukan hal-hal yang biasa saja. Aku ingin melakukan hal-hal biasa dengan jalan yang luar biasa, agar aku tidak terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Tetapi sering kali pemenuhan keinginan itu cepat menjadi suatu hal yang biasa. Aku menjadi seorang pembosan yang tidak tahu apa hal yang paling diinginkannya.

Hal lainnya yang sering membuatku menjadi pribadi yang tidak peduli adalah persepsiku atas hubungan dengan orang lain. Aku mungkin terlalu terdogma dengan falsafah balas dendam: mata ganti mata, tangan ganti tangan. Sehingga dalam setiap sikapku adalah cerminan perilaku orang lain terhadapku. Mungkin ini sikap yang tidak dewasa, untuk membalas perliaku orang lain terhadapku dengan kadar yang sama, karena realitas dalam hidup ini bukan sekedar hitam dan putih, dan kita tidak selalu mendapatkan hal yang kita inginkan hanya dengan membalas perliaku yang sama. Menurutku Bersikap baik dan tersenyum adalah suatu keharusan dalam berinteraksi dengan orang lain, namun bila lawan bicara kita tidak menghargai dan berbuat sebaliknya, maka aku cenderung bersikap tidak peduli dan kembali membalasnya dengan perilaku yang sama. Sungguh kekanak-kanakan…..

Dari sini aku belajar bahwa ketidakpedulianku terhadap sekitar justru telah membuatku acuh terhadap setiap pintu peluang yang melintas didepanku, sehingga membuatku selalu hilang kesempatan karena termakan rasa curiga. Ku sadari tidak jarang aku terjebak dalam reaksi-reaksi emosional jangka pendek terhadap masalah-masalahku, dan kehilangan pandangan rasionalitas pada keuntungan jangka panjang dari upaya memposisikan diri untuk tanggap kepada yang penting dan yang prioritas.

Keping Keenam : Sikap

Sikap kita dalam memandang dunia menentukan bagaimana masa depan datang kepada kita. Kita akan terus merasa menderita, selama kita melihat diri kita menderita. Kita akan menjadi seorang pecundang, jika kita menerima kekalahan kita sebagai kewajaran, bukan sebagai tantangan untuk memperbaiki diri. Jika sikap itu menentukan masa depan kita, maka sikap yang bagaimanakah yang harus kita miliki? Menurutku masing-masing dari kita sudah tahu jawabannya, hanya saja keberanian utuk tetap konsisten memegang sikap tersebut dalam setiap kesempatan itulah yang membuat keengganan kita untuk bertahan. Sepanjang tahun 2008, menurutku sikapku yang paling tidak produktif adalah sikap malas, terlalu menggampangkan sesuatu hal dan sikap tidak produktif lainnya. Aku sadari aku sering membandingkan diri ini dengan orang lain yang justru berada dibawah diposisiku, sehingga memberikanku alasan untuk berleha-leha dan menjadi tidak produktif lagi.

Ingatlah, Tuhan memberikan cobaan dalam hidup ini sesuai dengan kadar resisten kita sendiri-sendiri. Masalah kecil, diperuntukkan bagi orang-orang kecil. Masalah-masalah besar, diperuntukkan bagi orang-orang besar. Tidak akan ada kesalahan dalam alokasi ukuran masalah itu. Jika kita merasa sedang dihadapi permasalahan besar, itu tandanya Tuhan sedang merencanakan kita untuk menjadi orang besar. Jika kita mampu mengatasinya artinya kita telah layak untuk naik kelas, jika tidak maka kita harus mengulang ujian tersebut dilain waktu. Karena itu Hidup yang mengalir itu sungguh membosankan, karena kita tidak sempat merasakan berbagai tantangan dan gelombang dalam hidup yang dapat membentuk dan mengembangkan karakter kita lebih baik lagi.

Dari sini aku belajar bahwa Hidup itu harus Besar, Luas, Hebat dan Bermanfaat bagi Orang Lain. Kongkritnya dalam melakukan hal itu tiada lain adalah menjadi orang sukses. Sukses bukan dari segi materi tetapi juga tingkat kualitas pribadi dan tingkat keimanan. Kesuksesan itu dilahirkan dari sikap, dimulai dengan usaha yang gigih dan ditutup dengan pola pikir positif. Berbahagialah kita semua jika dalam memulai perjalanan menuju kesuksesan dalam hidup kita dimulai dari situasi yang tidak kondusif. Entah karena penolakan keluarga, kekurangan modal, ketidakpercayaan diri, lemahnya fisik, dan alasan-alasan lainnya. Karena Kesukesan dari dimulai dari ketidakmampuan diri itu namanya adalah sukses sejati, karena kita bisa merubah keadaan tersebut menjadi jauh lebih baik. Jika kita dilahirkan dari lingkungan yang serba mendukung dan dilengkapi oleh berbagai fasilitas, maka menjadi sukses itu bukanlah suatu pilihan, melainkan sesuatu yang wajar. Justru jika dengan segala sarana tersebut kita malah gagal maka itulah yang dinamakan kebodohan (kecerobohan)….

Sebagai penutup, Ini adalah penggalan kisah dari Mario Teguh untuk kita renungi bersama maknanya:

Seandainya semua kemenangan dalam permainan kartu ditentukan oleh kualitas kartu yang dipegang oleh seseorang, maka teknik paling penting dalam permainan kartu adalah teknik membagi kartu - bukan memainkannya. Lalu, segera setelah seseorang menerima pilihan kartu yang buruk, dia harus segera menyerah. Dan rekannya yang mendapatkan pilihan kartu yang baik - harus segera melompat berdiri dan mengumumkan kemenangannya.Tetapi apakah memang begitu?

Kemenangan dalam kehidupan ini, persis seperti permainan kartu -yaitu, bukan kartu yang Anda pegang yang menentukan kemenangan Anda, tetapi bagaimana Anda memainkan kartu apa pun yang ada pada Anda. Kualitas yang prima tidak menjamin keberhasilan bagi siapa pun, tetapi penggunaan yang bersungguh-sungguh dari kualitas apa pun yang kita miliki - itu lah jalan terbaik menuju jaminan yang Anda inginkan.