01 Februari 2009

Takdir

Takdir. Satu kata yang selalu diperdebatkan peranannya dalam garis hidup manusia. Ia seperti diamnya waktu yang mengalir melewati kita, ia seperti butanya dewi fortuna saat menghampiri manusia, ia seperti tulinya kematian ketika manusia merengek untuk diberi satu lagi kesempatan. Kita selalu menyalahkan takdir namun di lain waktu juga selalu mensukurinya, kita kadang tidak paham bagaimana Tuhan merangkai kata takdir dan selalu salah mengartikan maksud kata tersebut. Kita hanya mengerti bahwa kekuasaan takdir ada padaNYA.

Kita memang tidak akan mampu merubah apa yang telah terjadi, tetapi kita tetap berkuasa penuh atas apa yang dapat kita lakukan, untuk menjadikan apapun yang terjadi sebagai alasan bagi upaya-upaya terbaik kita. Itu bisa saja itu tidak mudah, tetapi toh ada saja orang yang mampu melakukannya, jadi mengapa kita tidak. Satu fakta yang tidak bisa terbantahkan adalah, setiap orang bertanggungjawab terhadap dirinya masing-masing. Orang yang bertanggungjawab terhadap dirinya adalah orang yang mengendalikan takdir hidupnya. Orang yang selalu menyalahkan takdir adalah orang yang akan selalu mengulangi takdir yang sama. Untuk itulah mengapa kita belajar sejarah, salah satunya agar kita bisa belajar dari para pendahulu kita, agar tidak mengulangi salah yang sama.

Dalam Agama diajarkan Takdir itu absolut, tapi kita bisa memilih jalan mana menyambut takdir tersebut. Benar bahwa semua yang ada di dunia ini sudah ditakdirkan garis hidupnya, sudah ada sistem yang mengaturnya. Tapi kita sebagai khalifah dimuka bumi dianugerahi anugerah terindah yang tidak dimiliki mahluk apapun. “Kehendak bebas dari akal”. Kita bisa memilih jalan mana yang mau kita tempuh, mau berdiri atau duduk, mau berlari atau berjalan. Takdir yang menanti di garis finish kita pun sudah tersedia, dalam lauful mahfudz, tinggal menunggu untuk kita jemput. Baik itu baik atau buruk, segala kemungkinan takdir itu sudah menunggu kita, persoalaannya adalah jalan (takdir) mana yang kita maui.

Kita bisa memilih pasrah dan menerima nasib (takdir), atau bangkit dan berusaha maju. Semua terserah kita. Namun ada satu garis besar yang tidak mampu dilalui bahkan oleh mahluk seperti malaikat, yaitu kita tidak mungkin keluar dari sistem. Karena takdir itu adalah sistem. Kita bisa memilih jalan mana yang mau kita tempuh, tetapi kita tidak mungkin mendahului waktu. Kita bisa memilih mau berdiri atau duduk tapi tidak mungkin mengingkari gravitasi yang selalu mengikat kita ke bumi. Kita pun bisa memilih mau berlari atau berjalan tetapi tidak bisa membelah ruang.

Takdir yang menanti di garis finish kita sudah tersedia apapun pilihan kita saat ini. Analogi gampangya, kita yang ada saat ini adalah hasil dari apa yang kita lakukan berulang-ulang pada masa lalu. Apabila kita ingin merubah takdir kita saat ini, maka kita harus mengubah apa yang kita lakukan berulang-ulang (kebiasaan) saat ini. Logikanya, bila kita ingin masa depan tertentu, itu artinya kita harus menyesuaikan dan mendekatkan diri kita dengan upaya-upaya untuk bisa meraih masa depan tersebut.

Jika Takdir itu seperti gravitasi dan berjalannya waktu, maka setiap hukum fisika yang berlaku adalah takdir, sebuah kekuasaan maha dahsyat yang dipelihara dengan sempurna oleh Tuhan. Kita sebagai manusia hanya buang-buang nafas untuk mencari celah mengingkari sistem yang tidak mungkin ditiru oleh mahluk. Satu-satunya hal yang mungkin dapat kita lakukan adalah membelokkan sistem tersebut. Membengkokkan sistem, bukan melanggarnya. Contohnya, takdir setiap manusia adalah melalui kehidupan kemudian menjemput kematian. Ini tidak mungkin dirubah, tetapi ada hal yang bisa kita bengkokkan misalnya, menunda kematian dengan ilmu pengobatan, mensegerakan kematian dengan senjata api, dll. Apabila kita tidak melakukan apa-apa pun (hanya menunggu takdir), takdir itu juga akan mendatangi kita. Tetapi bukan takdir yang kita harapkan. Takdir yang kita harapkan tersebut tetap ada, hanya saja tidak kita pilih. Singkat kata, jika Takdir itu sistem, maka pilihan kita itu adalah peluang.

Maka jangan berkata “karena aku tidak mempunyai apa-apa maka aku pasrah saja, tetapi katakanlah karena aku hidup terbatas maka aku ingin maju, ingin merasakan hidup yang lebih baik lagi”. Jadikanlah keterbatasanmu kini sebagai alasan terkuat untuk perubahanmu. Itu jika kamu inginkan perubahan. Tetapi dalam setiap perubahan yang kita inginkan, berhentilah untuk menggapai perubahan demi mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan itu hanya hayalan iklan dan imajinasi film. Faktanya tidak ada kesempurnaan hakiki di bumi ini.

Tidak ada komentar: