03 Februari 2009

Cerita tentang Keterpurukanku di suatu waktu

Apa terhenyuk saat kulihat kesalahanku telah menampar mukaku keras. Di kala itu, dengan keteledoranku mobilku terjatuh kedalam sungai. Bukan sungai yang dangkal, sungai itu sedang deras-derasnya, berdinding curam dan dalamnya lebih dari 2m, bagaimana cara mendereknya?. Mobilku pun terhanyut, benar-benar terhanyut seperti kain yang setengah mengapung dipermukaan. Waktu itu entah bagaimana perasaanku, satu-satunya yang kuinginkan saat itu adalah ini sekedar mimpi, mimpi buruk sekali. Setengah jam aku memandangi mobil itu yang terhanyut kemudian tersangkut dibawah jembatan, menggumam tidak jelas. Sudah jelas itu adalah kesalahan

Waktu itu, seperti badai gurun yang menghantam menyapu harapan dimukaku saat kejadian itu jelas jelas mempertontonkan semuanya. Aku malu. Dipermalukan oleh setiap pasang mata yang menoleh pada seongkok daging bernama aKu. Apa pikir mereka ?, benakku. Bodoh sekali yang mengendarainya. Dan mungkin seratus pemikiran negatif lainnya terpikir olehku seakan otakku seperti spon yang menyerap habis semua air dalam gelas.

Bergemuruhlah isi kepala dan dada ini dengan berbagai pemikiran yang mencoba memahami keadaan yang sebenarnya, seperti mengurai kemacetan lalu lintas yang terlanjur parah. Kurasa yang ada di kepala hanyalah ruang bagi penyesalan, tempat bermukimnya kaum pecundang, tempat dimana negatif adalah nikotin yang menggerogoti setiap sel paru agar merasa diterima. Entah mengapa, untuk kesekian kali keteledoran menamparku keras dengan penyesalan. Its my bad habit, i admid it. Setiap langkah, setiap detik pikiranku melayang dan membentur yang terlihat. Berulangkali. Kala itu tak ada yang bisa diguyonkan dari peristiwa ini, kesalahan seperti ini tidak mungkin lagi kujadikan bahan lelucon.

Keteledoran yang harusnya terpikirkan, menguap setelah berlalu. Aku tidak mencari pembenaran. Aku salah, dan penyesalan menagihku seperti bayangan. Mengikuti kala siang dan membekapku dalam setiap desah nafas malam. Aku tersiksa. Bukan karena verbal abuse cemoohan orang lain, tapi karena perulangan demi perulangan yang mengiang dikepalaku. Secuil demi secuil kejadian perih itu membentang di benakku seperti layar tancap. Aku tergerogoti setiap detiknya dengan inferioritas, kegelisahan dan kemalangan.

Sebuah buku mengatakan aku sedang menyiksa diri sendiri dengan belati waktu yang tak pernah berkesudahan, dan aku tak punya kuasa untuk melarikan diri darinya. Aku berharap dengan penyiksaan diri sendiri ini dapat mengurai rasa bersalahku, namun kenyataannya tidak demikian. Penyesalan yang berlebihan ini hanya menjadi lubang hitam yang menghisap habis nafas hidupku kedalam pusaran grafitasi kesedihan. Akupun merasa terpenjara sendiri dalam ruang akalku.

Kala itu, yang bisa menyelamatkanku dari keterpurukan adalah meditasi. Setelah mobil akhirnya bisa diderek dan dibawa ke bengkel, setelah semua kerumunan massa itu habis menyisakan aku dan mobilku akhirnya aku baru bisa sedikit tenang. Aku merenung dalam kesepian malam, diantara sajadahku dan derik melodi malam. Aku mengambil sisa-sisa semangat dari hati kecilku dan kukumpulkan dalam tangan yang memanjatkan doa. Tidak mudah memang, berkomunikasi dengan diri sendiri dimana semua kebohongan bisa terlihat, tetapi menurutku hal ini adalah satu langkah maju dari pada harus merajuk hati sendiri.

Buddha pernah berkata, kebahagian datangnya harus dari diri sendiri. Jika engkau tidak menemukannya maka engkaupun tidak akan menemukannya dimanapun didunia ini. Semua penundaan, semua penyesalan dan semua kekagagalan ada dalam setiap jengkal arteri takkan berubah menjadi kebaikan jika hanya membayangkannya.

Anyway, aku takkan menulis cerita ini jika tanpa moral lesson apa-apa. Apapun intrepertasinya bagimu, tapi buatku inilah kesimpulannya:
__________________________________________________

Dalam buku La tazan dikatakan, dunia ini selalu diliputi pertentangan. Tuhan selalu menciptakan dua jenis segala sesuatu yang saling bertentangan di jagad ini. Ada baik buruk, positif negatif, gelap terang, pria wanita, dll. Diatas itu semua, didunia ini akan lebih banyak tampak penderitaan dan cobaan dibanding kebahagian dan impian. Maksudku, dari semua hal yang terjadi memang kesialan selalu lebih banyak. Akan tetapi Tuhan juga mengisyaratkan bahwa dalam Kitab Suci lebih banyak ayat tentang harapan, janji, dan kabar gembira dibanding ayat tentang ancaman, duka dan kabar buruk. Artinya apa? Itu artinya kebahagiaan itu sebetulnya lebih banyak jika kita bisa mencarinya, memutuskannya. Meskipun di dunia ini tampak lebih banyak kesedihan dan kesengsaraan.

Sebuah buku lain berpendapat, pikiran (mind) seperti pesawat radio. Jadi sebenarnya pikiranmulah yang menyetel frekuensi negatif berulang ulang. Didunia ini walau sedikit namun masih ada kebahagian sejati dan itu semua bisa diperoleh dengan mengganti saluran ke saluran positif. Thats what you must do. Abaikan kabar buruk. Bad news is not good news!! Buang koran dan matikan chanel berita. Bacalah buku positif dan dengarkanlah orang positif, setidaknya begitulah orang-orang sukses bersikap.

M. Marcus. A, filsuf dan kaisar Roma dalam tulisannya, Meditation, menyatakan hidup kita adalah bagaimana pikiran kita mewujudkannya. Jadi, berfikir positif adalah cara membuat hidup menjadi positif atau melihat segala sesuatu yang lebih memberikan motivasi. Akan tetapi, berfikir positif bukan berarti memiliki keyakinan berlebihan yang tanpa menggunakan perhitungan, namun di sini lebih ditekankan pada cara menilai kembali segala sesuatu dengan menekankan pada segi yang positif.

Hhmmm, sepertinya kita jadi jauh dari topik utama diatas ya? Wes lha rapopo. Anyway, dibuku lainnya aku ingat ada perkataan “Isi pikiran melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan melahirkan karakter. Karakter melahirkan “nasib”. Hubungannya, kalau dalam lima tahun ke depan kita masih tetap menemui orang yang bermodel sama atau membaca buku yang isinya sama, maka nasib kita otomatis akan sama. Tanpa harus kita kasta-kastakan sendiri sebetulnya hukum alam ini sudah membuat semacam pengkastaan berdasarkan kualitas kelompok manusia yang oleh para pakar ilmu pengetahuan disebut Hukum Asosiasi (The Law of Association) yang kira-kira bisa dijabarkan bahwa kita secara naluri akan berkelompok dengan orang yang sejenis atau setara kualitasnya dengan kita.

end note :
“Lingkungan memang tidak bisa mencetak diri kita, tetapi lingkungan yang kita pilih mencerimankan siapa diri kita”. Pendapat demikian sudah klop dengan petuah leluhur yang berwasiat: “Jika kau ingin mengetahui profil seseorang, tak usah kau tanya langsung kepada yang bersangkutan tetapi lihatlah lingkungan seperti yang dia masuki.”

1 komentar:

Shanty Mahanani mengatakan...

“Lingkungan memang tidak bisa mencetak diri kita, tetapi lingkungan yang kita pilih mencerimankan siapa diri kita”. Pendapat demikian sudah klop dengan petuah leluhur yang berwasiat: “Jika kau ingin mengetahui profil seseorang, tak usah kau tanya langsung kepada yang bersangkutan tetapi lihatlah lingkungan seperti yang dia masuki.”

aku copas, untuk diriku, tanpa publikasi!