29 Januari 2009

A hollow Soul

Pagi hari ini kubuka kelopak mata dengan jiwa yang terasa kosong, seperti selongsong peluru yang telah ditinggalkan dari tubuh senjata, kehilangan tujuan setelah diusir pelatuk dan terjatuh di tanah dingin di negeri antah berantah seakan dilupakan begitu saja oleh peradaban. Akupun bertanya, Sia-siakah selama ini nafasku terumbar memburu angin liar kehidupan, kemanakah sesungguhnya penaklukan waktu ini membawaku ? Aku tak henti-henti menghela nafas mencari petunjuk dalam kamus hati ini hanya untuk menemukan diriku telah tersesat...

Ku sadari pagi ini tak ada bedanya dengan pagi-pagi lainnya. Begitu pula dengan kehampaan ini, pernah kurasakan sebelumnya. Hanya saja kala itu aku memutuskan untuk lari menjauh, menenggelamkan kendi kekosongan itu kedalam rutinitas menjemukan seolah-olah tak pernah terjadi. Hanya kemudian menyadari bahwa kehampaan itu tak terpengaruh dengan gravitasi, kembali mengambang terbawa arus kemudian di sungai waktu. Apa yang salah dengan jiwaku ini? Mengapa dada ini seperti berlubang menganga hingga tembus kebelakang, seolah-olah tak dikenal lagi organ hati.

Apakah arti ini semua? Mungkinkah ini pertanda dari Sang Maha, untuk mencari kerinduan yang hilang dari kalender kehidupan? Untuk kembali mempertanyakan tujuan kehidupan, mencari makna keberadaan diri sendiri yang seolah takterjawabkan oleh waktu? Sampai saat ini hidupku hanya disusun oleh bata-bata persepsi, asumsi yang mendefinisikan kenyataan didepan mataku. Konsep menjalani kehidupan yang kabur seperti masa depan yang tak tertebak. Begitu rapuhnya terguncang oleh fantasi dan prasangka.

Aku sendiri hanya berharap hidup ini (mungkin seperti manusia pada umumnya) dapat mencukupkan pengetahuanku, kebutuhan lahir batinku, kemudian bersyukur atas segala nikmat hingga aku dapat menaklukkan keinginan liarku sendiri. Aku berharap hidup ini dapat memberikan manfaat, bukan demi ucapan terima kasih tetapi agar aku bisa mengabdikan waktu ini tidak dengan sia-sia, karena aku sungguh kesepian bila semua keinginkan itu demi aku sendiri. Dan terakhir aku ingin mengenal Tuhan, sebaik beliau mengenalku. Bahwa kusadari hidup ini adalah anugerah terbaik, maka jangan terlalu terlena dengan keterpurukan sementara, masih ada cahaya benerang yang menanti diujung jalan jika kita masih percaya.

Seharusnya tujuanku telah jelas kuikrarkan dahulu, namun kumerasa kehilangan arah dalam mencarinya. Tersesat dalam kebosanan waktu yang mengikis perlahan semangat.
Setiap manusia harus memiliki tujuan, tujuan dalam kehidupan yang harus kita cari sendiri. Kita tidak bisa mengelak dari pencarian ini, sebagaimana kita tak bisa mengelak untuk bertambah tua. Karena tujuan inilah yang mendefinisikan eksistensi kita, kebahagian kita dan jati diri kita. Kita akan terus menerus merasa tak pernah benar-benar bermakna, tersesat mencari kebahagian semu, dan terombang-ambing pendapat orang lain jika tak menemukannya. Jika waktu yang dibentangkan kepada kita hanya satu arah, maka seharusnya tujuan itu harus bermakna, karena kita tidak punya cukup waktu untuk terus menerus mengejar kesia-siaan, seperti yang kadang didendangkan oleh kemalasan kita.

Karena hidup ini hanya sekali, aku bersyukur Keabadian itu bukan milik dunia, karena sungguh kesepiannya menjadi abadi sementara yang lain tidak. Betapa membosankannya hidup jika harus menatap waktu yang terus berubah sementara kita tidak. Meskipun betapa mulianya keinginan menjadi abadi, hidup ini akan lebih bermakna bila kita cukup menjalaninya sekali saja, tidak berulang kali karena hanya membuat makna dan tujuan hidup kita murahan.

End Note :
Manusia cenderung baru mengerti pentingnya sesuatu ketika sesuatu itu telah direnggut darinya. Kita tak harus menunggu sampai benar-benar kehilangan untuk membuktikannya. Maka Tunjukkanlah kita benar-benar menghargainya dengan segera menemukannya kemudian setia padanya,

25 Januari 2009

Logika Bunuh Diri

####################################################################
Apakah esensi kehidupan itu…..

Jika setiap mahluk yang telah dilahirkan itu ditakdirkan untuk mati, lantas buat apa kita hidup ?

Buat apa kita diperkenalkan gegap gempita keindahan hidup ini jika pada akhirnya harus diakhiri dengan perpisahan yang menyedihkan.

Apa maksud semua ini, kenyataan ini seperti mimpi indah bercampur mimpi buruk yang tiba-tiba terpotong ketika bangun tengah malam kemudian lupa ketika berusaha mengingat sedang mimpi apa barusan, dengan kata lain hidup ini hanya omong kosong !

Lantas jika beban kehidupan ini harus ku pikul sendirian sehingga ku tak sanggup menghadapinya, lantas buat apa ku harus memperpanjang hidup yang menyedihkan ini, buat apa ku harus menggantungkan harapanku pada sesuatu yang belum tentu datang. Mengapa tidak sekarang saja kuakhiri agar enyahlah sudah kepedihan ini dari hatiku.

Maka demikianlah pembelaan manusia yang memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri….

####################################################################


Memang butuh kesedihan dan keterpurukan yang luar biasa untuk sampai pada kesimpulan ini, tetapi banyak dari kita secara tidak sadar pernah sampai pada titik ini meski tidak sampai berani menyatakan diri sendiri untuk mencoba mengakhiri kehidupan. Coba saja renungkan, pasti ada satu dua peristiwa dalam hidup kita yang membuat kita begitu kehilangan semangat hidup lantas mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk ini.

Bagi sebagian besar orang, bunuh diri adalah perbuatan yang tidak masuk akal, konyol, bodoh, tidak beriman, dan pengecut! Tapi toh ada saja orang yang bunuh diri meskipun ia seorang terpelajar maupun beragama. Pertanyaannya sekarang, bukanlah mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan oleh para pelaku “self destruction” itu, tetapi lebih kepada memahami bagaimana mencegah perilaku itu agar kita jangan sampai tertular keputus asaan serupa.

Untuk memulainya, sebenarnya yang perlu dilakukan cukup sederhanya. Cukup bersyukur terhadap apapun yang terjadi dalam kehidupan kita.
Keterpurukan kita, seburuk apapun itu akan menjadi kekalahan jika kita memutuskan untuk berhenti berharap, terus menganggap diri kita sebagai orang terburuk, tersial, tersedih diseluruh dunia. Mengasihani dan menyakiti diri sendiri dalam berbagai rupa sebagaimana yang dianggap banyak orang, justru tidak akan mendekatkan diri kita pada Perubahan nasib. Nasib itu tidak akan peduli, apakah kita merajuk ataupun bergembira. Sebetulnya, dunia beserta isinya inipun tidak akan peduli pada apapun yang kamu keluhkan. Satu-satunya orang yang bisa dimintai pertanggung jawaban adalah kamu sendiri, maka putuskanlah untuk peduli pada nasibmu sendiri.

Jangan pernah kita sampai pada kesimpulan untuk mengakhiri kehidupan tetapi terlalu takut untuk menghadapi kematian secara jantan, lantas memilih cara-cara pengecut seperti mempercundangi diri sendiri, mengasihani diri sendiri, atau mungkin hidup dengan cara seorang pecundang.

Jangan menyerah pada kehidupan ini, karena Tuhan pun tidak berhenti menyerah pada kita, meskipun manusia berbuat dosa yang tak terampuni dan membantah kekuasaannya. Jika kamu termasuk manusia yang memenuhi panggilan Sang Maha lima kali sehari, Bukankah ketika kita sujud itu artinya kita mengakui kekerdilan diri kita dihadapan sang Maha, betapa tidak bermaknanya kekuatan kita dimata sang Maha, tetapi toh itu bukan berarti Tuhan tuhan tidak menganggap kehadiran kita tidak bermakna. Buktinya waktu terus mengalir dan kesempatan selalu datang memberkahi kita dengan kemungkinan-kemungkinan memperbaiki nasib.

Logika bunuh diri. Apakah itu karena kita kurang memahami agama, sehingga pemikiran sempit itu menawarkan jalan pintas mengakhiri hidup ataukah kita terlalu "menghayati" keterpurukan itu sehingga tidak sadar akan keindahan dibaliknya. Seperti kata pepatah, "kamu bisa terus mengeluhkan mengapa mawar memiliki duri, ataukah bersyukur telah memiliki mawar"

Kehidupan ini benar-benar menawarkan begitu banyak keindahan daripada kematian, karena kematian itu begitu misterius dan tak terduga sementara kehidupan itu nyata dan saat ini. Maka bergembiralah dalam kehidupan dan buka mata pada kesempatan. Setiap mahluk yang terlanjur hidup cepat atau lambat pasti akan mati, sebagaimana segala sesuatu yang memiliki permulaan pasti ada akhirnya. Yang menjadi tugas kita sebenarnya bukan mengeluhkan persoalan mengapa ada kehidupan atau kematian, melainkan adalah mengisi kehidupan yang telah dianugerahkan kepada kita untuk berbuat kebaikan, agar kelak dipenghujung nafas, kita tidak menyesal. Bukan menyesali kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat, tetapi lebih kepada penyesalan telah melewatkan banyak kesempatan untuk berbuat kebaikan yang bermanfaat bagi sesama.

Segala permasalahan hidup kita sebetulnya sudah ada jawabannya pada saat permasalahan itu menghampiri kita. Yang perlu kita lakukan adalah membuka mata, mencarinya. Jangan terlalu serius memelototi permasalahan itu, seolah-olah akan hilang begitu saja dengan harapan kita...

Memaafkan Seseorang

Setiap manusia pasti pernah mengecap rasa marah, baik kepada orang asing maupun pada orang yang dikasihi. Setiap orang juga pasti pernah memuntahkan rasa marah tersebut kepada si penyebab rasa marah yang biasanya dilakukan secara berlebihan dan kemudian menyadari bahwa menuruti nafsu marah itu justru membawa luka yang lebih dalam pada hubungan dengan orang tersebut. Lalu bagaimanakah sebaiknya mengelola rasa marah tersebut agar tidak kembali memukul kita dibelakang?

Apakah Anda sering marah kepada orang yang seharusnya dikasihi, seperti pasangan atau orang tua? kemarahan yang begitu tak tertahankan karena penyebab kemarahan itu selalu diulang-ulang? Merasa tidak berdaya atas keadaan Anda, merasa tidak dianggap, kemudian frustasi dan melampiaskan kemarahan itu dengan kata-kata kasar berharap orang terkasih itu menjadi mengerti kekalutan hati Anda, namun yang terjadi biasanya justru sebaliknya. Kemarahan hampir selalu dibalas dengan kemarahan, kesedihan, kebencian, dan terburuk... rasa dendam!

Melampiaskan bara kemarahan itu ibarat api yang melahap segala yang ada, hanya abu kehampaan dan penyesalan yang menanti. Tetapi menelan sendiri kemarahan itu hanya justru menyebabkan rasa semakin sesak di dada, meracuni kepala dengan imajinasi destruktif dan berpotensi menumbuhkan penyakit hati. Lantas apa yang bisa kita dilakukan? Menghindari rasa marah justru tidak mungkin, karena bahkan petapa yang hidup menyendiri di pegunungan juga bisa terkena rasa marah. Bersikap tidak peduli pada segala sesuatu juga tidak bisa membantu, karena rasa marah tidak bisa hilang dengan ketidakpedulian. Satu-satunya kekuatan yang bisa menaklukan rasa marah itu adalah rasa Cinta.

Sudah banyak lagu yang mengeksploitasi kata cinta, tetapi banyak dari kita yang selalu bersenandung syair cinta justru kalah ketika rasa cinta itu diuji dengan kemarahan. Sudah banyak pula dari kita yang merasakan anugerah Cinta sejati dan terheran-heran akan definisi cinta, namun ketika dihadapkan dengan kemarahan justru banyak dari kita kembali kesifat dasar kita yang selalu mementingkan diri sendiri diatas pengorbanan cinta kemudian bertekuk lutut pada amarah yang memburu. Sudah lupakah kita pada janji kita dulu pada diri kita sendiri, bahwa kita akan selalu memberikan yang terbaik bagi orang yang kita kasihi, mengabdikan waktu kita demi kebahagiaannya? Namun apa yang terjadi, semudah itukah kita menyerah kalah?

Tak tahukah kita, bahwa bibit rasa marah yang ditanamkan di dada kita itu adalah bagian dari rencana Tuhan, sebagaimana hidup kita. Bahwa kehidupan kita dengan orang yang kita kasihi itu justru akan semakin berwarna apabila dengan rasa marah itu kita bisa lebih saling memahami, alih-alih saling menyalahkan. Bahwa dengan dengan rasa marah itu Tuhan ingin kita menyadari, seberapa tuluskah kita mengkasihi, seberapa jujurkah janji kita pada diri kita sendiri. Bahwa Tuhan itu sangat peduli pada kita dengan memberikan rasa marah itu. Karena Tuhan ingin kita menjadi orang yang hebat dalam kehidupan ini dengan menaklukan nafsu pelampiasan kemarahan itu. Bayangkan saja jika kekuatan cinta itu tidak diuji dengan kemarahan, tentu ia menjadi biasa saja dan sungguh membosankan bila hari-hari selalu monoton dengan kebahagiaan selamanya.
(Meskipun "live happily ever after" itu selalu menjadi tema roman percintaan, namun pada prakteknya sungguh tidak masuk akal)

Lebih lanjut lagi, memaafkan seseorang (termasuk orang yang kita cintai) tidak membuktikan bahwa kita dipihak yang salah, lemah, kalah, dan tidak berdaya. Karena apa yang dibisikan hati ketika kita marah adalah tidak benar karena cenderung sudah terkontaminasi dengan kekuatan negatif. Satu hal yang pasti, memaafkan orang yang kita cintai, meskipun itu tampaknya adalah perbuatan yang tak termaafkan membuktikan seberapa besar jiwa kita, seberapa lapang rasa ikhlas kita. Bukan demi orang yang kita kasihi, namun sebagai bukti bagi diri kita sendiri. Ada peribahasa bahwa Manusia akan menunjukan sifat aslinya ketika ia marah, karena itu buktikanlah pada diri kita sendiri, seberapa tangguhkah rasa cinta kita ketika diuji dengan kemarahan.

Bahkan manusia tersuci seperti Nabi Muhammad pun pernah marah, namun sejarah tidak pernah mencatat beliau pernah menyerahkan kemarahan itu pada bisikan syetan. Itu karena Beliau mengerti dan berharap kita bisa belajar darinya, bahwa kemarahan selayaknya rasa cinta dan kebahagian adalah bagian dari ujian kita di dunia. Jika kita berharap akan menjadi orang besar maka bersikaplah seperti orang besar, yang dikagumi orang lain akan kebesaran hatinya.


Akhir kata, Memaafkan seseorang itu butuh jiwa yang besar, melampaui rasa marah dengan kasih sayang itu lebih sulit lagi, maka tidak banyak yang bisa melakukannya. Namun bagi yang mampu, Tuhan sudah menjanjikan baginya kehidupan yang lebih baik...


(aku tulis curahan hati ini setelah berhasil mengelola kemarahan luar biasa pada orang tuaku yang membuatku frustasi, yang hampir saja membuatku kehilangan akal terbaikku untuk menyerahkan mulut dan sikap pada bisikan jahat)

14 Januari 2009

New Year Note ?

Sebenarnya buat apa sih kita selalu merayakan malam tahun baru? Apakah latah mengikuti trend seperti yang digembor-gemborkan di televisi atau mengikuti orang lain, seolah-olah tahun baru akan menghibahkan waktu baru bagi kita, awal baru, kesempatan baru, melupakan kesusahan-kesusahan yang terjadi di tahun yang lama. Ini adalah beberapa catatanku mengenai tahun baru :

1.Seharusnya kita mengisi tahun baru ini dengan semangat baru, harapan baru dan resolusi pribadi baru. Tapi apakah kita bisa mencapai tujuan-tujuan kita jika sikap dan perilaku kita masih lama? Lantas apakah sebenarnya tujuan kita di tahun yang baru ini? Bukankah masih sama dengan tahun yang lalu, seperti mengulang harapan yang lama di tahun yang baru. Berharap nasib akan menjodohkan asa kita dengan kenyataan. Lantas bila tidak terkabulkan maka kembali diulang ditahun baru berikutnya. Pantaskah kita merayakan malam tahun baru dengan eforia dan suka cita jika kita sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya kita inginkan di tahun yang baru?. Pantaskah kita menjejakkan kaki diwaktu yang baru dengan memanjatkan doa pada yang Maha, memohonkan kebaikan akan turun mengisi hari-hari kita, jika kita masih mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama, mempertahankan kebodohan dan kemalasan kita dan terus memberikan alasan penundaan pada upaya memperbaiki nasib yang dibisikkan oleh hati kecil kita?

2.Tahun yang berlalu seharusnya ditutup dengan suatu pengalaman yang berharga. Bahwa kita telah melakukan apa yang harus kita lakukan, belajar dari kegagalan dan kesedihan kita, keluar dari keterpurukan diri dan bertekad mengisi waktu yang baru bukan dengan kesedihan yang sama. Tapi bagaimanakah kita bisa belajar dari kekalahan, kegagalan dan kesedihan itu jika kita terus menganggap apa yang terjadi pada tahun yang lalu sebagai kesialan, kesalahan nasib dan ketidakadilan sang Maha? Kita harus menurunkan gelas pemahaman kita, agar air pemahaman baru bisa mengganti air persepsi kita yang lama. Kita harus mau mengakui kekalahan kita, agar bisa melangkah dengan semangat baru.

3.Lantas apakah yang kau harapkan di tahun yang baru ini ? banyak orang memulai tahun baru dengan semangat baru, harapan baru, lantas menjadi lupa di bulan berikutnya dan kembali terpuruk di persoalan yang sama. Kenangan itu bukanlah album foto yang bisa kita lihat-lihat dan mengatakan dalam hati kata seandainya. Kenangan itu adalah kenyataan dimasa lalu, yang sesungguhnya bisa kembali terjadi dimasa kini dan masa yang akan datang, jika kita menolak untuk belajar dan mencoba hal yang baru. Seperti kata pepatah, “Seseorang yang tidak belajar dari sejarah, akan dikutuk untuk mengulangi hal yang sama di masa yang akan datang”

Tahun baru menghibahkan banyak hal. Tapi sebenarnya tahun baru itu sama seperti hari hari lainnya, ia hanya pengulangan hari saja, suatu peristiwa yang menjadi bermakna karena manusia memutuskan untuk merayakannya. Yang menentukan ia lebih bermakna adalah kita sendiri. Apakah di tahun baru ini kita memutuskan untuk “berubah” ataukah hanya mencari-cari alasan saja?

Selamat tahun baru…..

07 Januari 2009

Catatan Awal Tahun

Ini adalah beberapa hal yang kupelajari selama tahun 2008 :

Keping Pertama : Takdir

Selama ini aku mengharapkan takdir akan datang menjemputku, meminangku dan membawaku ketempat yang aku tuju. Di suatu masa di masa depan yang berkilau dan indah. Maka aku menunggu dan menunggu, atas nama harapan kutunggui takdirku didepan pintu asaku. Dan setelah bertahun-tahun ku tunggu, takdir itu tak kunjung datang membawa berita kedatangannya. Aku baru saja menyadari, bahwa apa yang kulakukan hanyalah lamunan seorang pemalas yang mengharapkan surga menghibahkan mukzizatnya didepan pintu rumahku tanpa harus ku keluar rumah disengat matahari terik. Dan aku menyesal, menyesali kebodohanku menunggui yang tak ada, menyembelih waktuku pada penantian yang percuma dan sia-sia.

Dari sini aku belajar, dan baru menyadari arti kata pepatah : “kita harus melakukan apa yang kita harus lakukan, sampai takdir mengungkap jalannya”. Aku ingat kata-kata ini entah dari buku mana yang ku baca, namun baru kini aku menyelami maknanya. Sebetulnya aku sudah tahu bahwa takdir itu adalah lembaran kosong dalam waktu, dimana kita bebas menuliskan apa saja, mencoret-coretnya atau malah mendiamkannya (seperti yang telah kulakukan selama ini). Kita tidak pernah tahu bagaimana takdir dan nasib membentuk masa depan kita, dan karena itu pula kita juga tidak bisa mengharapkan yang terbaik selalu datang menjemput kita. Jika tak ada satupun manusia yang bisa memesan takdirnya di masa depan, maka perbuatan pasrah dan menunggu sebenarnya adalah perbuatan konyol, lebih konyol daripada peribahasa pungguk merindukan rembulan.

Seharusnya yang kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita agar apapun takdir yang akan datang kehadapan kita, kita bisa lebih matang menghadapinya. Seperti kata Mario Teguh, kita pantas mendapatkan masa depan apapun yang kita inginkan, jika saja kita juga memantaskan diri kita menerima masa depan tersebut. Dalam agama ditegaskan bahwa kata pasrah itu menjadi halal dilakukan bila segala daya upaya telah kita upayakan untuk mengejar tujuan kita. Bersikap pasrah, menerima apa adanya takdir yang disajikan dihadapan kita tanpa berbuat sesuatu dalam persiapannya, menurutku adalah sikap yang tidak pantas bagi seseorang yang dalam setiap doanya memohonkan masa depan yang hebat, besar dan bersinar.

Dari sini aku belajar, dan menyatakan pada diriku sendiri agar tidak boleh ada lagi lembar kosong yang terobek sia-sia oleh waktu tanpa kuisi dengan perbuatan yang berguna demi menjemput tadir yang kuingini. Semoga tekad ini bisa tetap kujaga kibarnya di waktu hidupku. Toh pada akhirnya, kita akan lebih menyesali perbuatan-perbuatan yang seharusnya kita lakukan tapi tidak kita lakukan, daripada menyesali perbuatan-perbuatan salah yang kita telah kita perbuat. Waktu itu tidak terbatas, tapi waktu kita didunia ada batasnya. Karena itu sebaiknya kita pergunakan waktu yang kita tak tahu dimana akhirnya ini benar-benar berguna, agar tidak ada penyesalan lagi diujung nafas kita kelak (karena penyesalan sesudah itu tidak bisa kita perbaiki lagi begitu kita meninggalkan dunia fana ini).

Keping Kedua : Impian

Bagaimanakah kita mendefinisikan impian ? aku sendiri berpendapat, impian itu adalah batu bara yang membakar semangat kita, kompas yang menentukan arah langkah kita dan jangkar yang membuat kita tetap berlabuh ketika didera ombak-ombak cobaan kehidupan. Impian setiap orang itu pasti berbeda satu dengan lainnya, namun secara garis besar ia harus lebih besar dan lebih hebat daripada keadaan kita sekarang dan untuk mencapainya dibutuhkan perjuangan ekstra, bukan sekedar “walking in the park”.

Lalu seberapa jauhkah impianku kini membawaku? Bila kupikirkan lebih dalam maka jawabannya adalah “tidak kemana-mana”. Yang aku sadari kini impian-impian yang kutulis dengan tinta emas dalam lubuk hatiku dulu, kini masih sama, hanya saja semakin kusam tertutup berbagai persoalan hidup kemudian semakin tenggelam terlupakan waktu. Lalu apa yang telah kulakukan agar aku bisa menarik impian itu dari tidur malamku kedalam kesadaranku? Mungkin jawabannya adalah tidak ada!! Aku sedih dan menyesal, lalu merenungi apa salahku. Apakah impianku terlalu besar hingga tak kuat untuk digantungkan di langit malamku? Ataukah aku kurang berusaha membangun anak tangga guna menggapainya?

Yang tidak kusadari mungkin adalah kekalahanku memegang teguh impianku dari kata hatiku sendiri, sehingga aku mudah terbuai dan terbujuk oleh alasan-alasan penunda keberhasilanku kemudian memasrahkannya pada takdir belaka. Aku mungkin terlalu mudah teralihkan, sehingga impianku sendiri menjadi terabaikan. Dan ketika impian-impian itu menagih janjinya padaku, yang ku utarakan hanyalah alasan demi alasan pemaaf mengapa aku belum bisa memulainya. Kemudian tanpa kusadari itu menjadi kebiasaan yang terlatih, sehingga akupun menutupi kekecewaanku itu dengan impian-impian lainnya dan begitu seterusnya. Dan akhirnya ia menjadi hilang tingkat kesakralannya, menguap menyisakan abu yang bernama “lamunan”, yang begitu mudahnya terbang bila tertiup angin semilir.

Dari sini aku belajar, bahwa impian itu harus kongkrit, terarah dan tegas. Kita tidak bisa hanya mengatakan impianku adalah menjadi orang sukses. Menanamkan sugesti seperti itu hanya akan membuat hidup kita tidak terarah, karena ukuran sukses itu berbeda-beda dan multi tafsir. Sehingga pada akhirnya ketika tenggat waktu impian tersebut hampir habis, kita dihadapkan pada realitas yang membingungkan kita sendiri. Dan akhirnya kita diharuskan menerima kenyataan tersebut sebagai buah impian kita dulu, yang dalam hati kecil kita menganggap impian tersebut telah terwujud dalam skala “bonsai”, lalu kita pun beralasan, toh setidaknya impian tersebut sudah terwujud….. seperti itukah yang kita inginkan? Seberapa besar kita menginginkan impian kita itu terwujud menentukan seberapa jauh batas perbedaannya antara impian kita dan lamunan belaka. Jika Impian itu cenderung bersifat abstrak maka realisasinya pun dipastikan tidak kongkrit atau “tergantung suasana hati kita menginginkannya”. Oleh karena itu pula banyak impian-impian kita yang menjadi sekedar lamunan belaka, ketika kita menyadari gurun pasir beserta badainya yang harus kita lalui demi menebusnya. Dan akhirnya kita pun rela menukar impian mulia kita tersebut dengan ukuran yang lebih kecil, jauh lebih kecil sesuai dengan tingkat kenyamanan kita mencapainya.

Keping Ketiga : Tekad

Tekad adalah tangan-tangan yang menjalankan perintah impian-impian kita. Ia adalah api yang menyala dari hasrat impian kita untuk menerangi jalan gelap yang ada di depan kita. Tekad itu tidak berwujud bila kita sendiri tidak tahu apa yang kita inginkan. Sepanjang tahun 2008 ini aku telah memikirkan sejumlah kemajuan dibanding tahun sebelumnya, dan kesimpulannya adalah tidak jauh lebih bermutu dari tahun-tahun sebelumnya. Aku selalu terjebak dipermasalahan yang sama, yang sesungguhnya menjemukan untuk diceritakan karena begitu seringnya aku mengulangi kesalahan ini. Masalah itu adalah, apa tekad sejatiku dalam hidup ini? Suatu pertanyaan yang menjeratku berulang kali karena ada begitu banyak variasi jawaban yang sudah kukemukakan. Aku adalah ibarat seseorang yang pergi melaut dengan sebuah kapal, dan kemudian berhenti ditengah tengah untuk menemukan arti bahwa aku sebetulnya telah tersesat. Aku tersesat karena aku sendiri tidak mengetahui kemana tujuanku berada, aku hanya terombang ambing kesana kemari oleh ombak dan tidak mengerti membaca posisi. Bagiku impianku itu nyata dan ada diluar sana, namun ia begitu abstrak sehingga jalan yang harus kulalui itu aku sendiri tidak tahu ada dimana. Lalu kemanakah tekad ini harus membakar semangatku untuk mengayuh, dan bila kupikirkan lagi, bagaimana mungkin aku bisa tersesat jika aku sendiri tidak bisa mengetahui arah pelabuhan terdekat yang ingin kutuju.

Hidup ini ibarat lautan lepas yang bisa mengayunkan berbagai kemungkinan. Dan jika kapal yang kita naiki ini adalah waktu hidup kita, alangkah sia-sianya hidup ini jika dihabiskan untuk terombang ambing mengikuti arus, yang pada akhirnya tidak membawa kita kemana-mana. Betapa sia-sianya jika kita tidak sempat melihat kehebatan petualangan-petualangan yang mampu ditawarkan oleh kehidupan ini, sehingga kelak kita bisa bercerita dengan mata berbinar-binar. Seperti kata pepatah, ”Bagi yang sedang tenggelam, gerakan apa pun selain gerakan tenggelam adalah pilihan yang lebih baik”. Aku dan pilihanku sudah terbukti keliru. Aku terlalu banyak terlena oleh angin laut yang mengalihkan tujuanku dan begitu terbuai oleh ombak yang mendayu-dayu mengayunkan perahuku kekiri dan kekanan. Seharusnya aku sadar sedari dulu, bahwa jika aku terlalu santai menikmati kehidupan yang tersaji dihadapanku, maka aku takkan siap menghadapi badai yang sering datang tiba-tiba. Itulah sebabnya aku selalu tercebur dan nyaris tenggelam dalam setiap badai yang menerjang, kemudian bangkit dan selalu bertanya-tanya mengapa sampai tenggelam.

Tekad dalam hatiku menjadi lemah untuk diuji dengan pahit getir kehidupan, karena aku lebih sering mempertanyakan tujuan, beretorika dalam monolog batin, mengkonfrontir tujuan hidupku sendiri alih-alih segera keluar dari air dan segera mendayung perahu. Aku sering kali menertawakan dalam hati kecilku sebuah falsafah jawa yang berbunyi ”alon-alon waton kelakon”. Namun tanpa kusadari aku malah termakan filosofi itu. Seperti kata andri wongso, ”jika anda tidak keras terhadap kehidupan, kehidupan akan keras terhadap anda”. Aku sedari dulu mengerti arti kata itu, namun untuk menjabarkannya kedalam aksi ternyata lebih banyak pertentangannya dari dalam diri. Betapa memaksa diri untuk keluar dari ”comfort zone”, bertempur berdarah-darah untuk menemukan diri sendiri masih gagal itu sungguh lebih berat jika dibayangkan. Dan akhirnya, kita ( dan terutama aku) lebih sering mengabaikan nasehat-nasehat orang dengan dalih itu belum tentu bisa diterapkan. Aku sering lupa, bahwa menyibukkan diri menganalisis persoalan tidak memabawaku kemana-mana kecuali segera bergerak kemana saja dengan sisa tekad untuk segera keluar dari lubang masalah tersebut.

Dari sini aku belajar, bahwa untuk mencapai impian kita itu tidak harus mengerti arah pasti yang harus dituju. Arah tujuan tidak harus sempurna dan perbuatan kita tidak harus sesempurna mungkin. Menjadi perfeksionis tanpa cela hanya menuntun kita untuk tidak berbuat apa-apa, menonton pertunjukan kehidupan dari sisi penonton lalu berkomentar ini-itu seolah-olah kita bisa melakukannya dengan lebih baik. Betul jika hidup itu harus hebat dan bersinar namun mengejar kepuasan dengan berbuat sesempurna mungkin sering kali membuat kita menderita, bukan saja karena kesalahan yang diperbuat, namun juga lebih karena kita merasa lebih sering berbuat kesalahan daripada yang benar. Lalu aku belajar, tahun ini aku akan berbuat lebih banyak, melakukan aksi lebih banyak tanpa khawatir jika kala-kalau seandainya. Berbuat kesalahan itu tidak lebih dari bergabung dengan umat manusia, dan mengambil pelajaran darinya adalah satu poin tambahan yang mampu mengangkat harga diri kita dan membedakan diri kita dengan sisa manusia lainnya.

Keping Keempat : Alasan Penunda

Menunda-nunda pekerjaan sama artinya menunda datangnya keajaiban kedalam kehidupan kita. Penundaan satu pekerjaan adalah pemotongan satu waktu senggang kita di esok hari. Penundaan adalah racun bagi semangat kita dan jelaga yang menutupi hati kita dari pengupayaan keberhasilan. Ada begitu banyak alasan untuk berhenti menunda-nunda namun mengapa banyak dari kita masih menyimpan kebiasaan ini dalam hati kita. Aku sendiri adalah salah satunya. Sedemikian akutnya penyakit ini menjangkit hatiku kini, hingga menjadi borok yang selalu mengalihkan perhatianku melihat kesempatan-kesempatan baru. Hingga kini selalu menjadi kambing hitam yang kupersalahkan ketika doa-doaku tak kunjung terjawab. Betapa aku muak dengan kebiasaan ini namun di sisi lain begitu susahnya membuangnya. Apakah ini sudah menjadi penyakit menahun yang kini membentuk jati diriku ataukah keenggananku sendiri adalah alasannya?

Yang jelas, penundaan adalah biang keladi atas segala kerepotan yang menimpaku ketika tenggang waktu suatu pekerjaan semakin menghimpit. Penundaan adalah penyumbang terbesar atas kegagalanku dalam mencapai sesuatu dan mungkin merupakan kesalahan terbesarku sepanjang hidupku. Kadang akupun berseloroh, bahwa justru karena penundaan ditambah faktor deadline itulah yang membuat adrenalinku menyembur dan mengalirkan ide-ide yang sebelumnya buntu. Tentu ini benar jika dalam keadaan darurat, namun masalahnya jika untuk setiap urusan diharuskan melalui ritual penundaan ini, bukankah efeknya bisa seperti efek domino? Akhirnya aku juga yang menjadi kelelahan. Kadang aku berpikir bahwa penundaan itu ibarat waktu istirahat sejenak yang dibayar dimuka, namun jika keterusan maka bunganya bisa mencekik dan bila sudah jatuh tempo tidak segera dikompensasikan bisa menyebabkan kolaps. Disitulah letak perangkapnya, jika jiwa sudah merasakan enaknya waktu senggang (waktu istirahat) sungguh sulit jika harus kembali bekerja, kemudian hatipun berkata “mengapa tidak berleha-leha dulu saja….”

Dari sini aku belajar, bahwa untuk mengatasi sifat menunda-nunda ada dua kunci utama. Pertama adalah Tekad untuk berubah disertai akal yang selalu mengakar pada realitas, bahwa penundaan di masa sekarang adalah dua kali waktu sibuk di esok hari. Kedua adalah disiplin untuk selalu menunaikan urusan terlebih dahulu baru pantas mendapatkan waktu senggang / waktu istirahat. Melakukanlah sesuatu yang selama ini telah aku ketahui harus aku lakukan adalah bagian dari rasa tanggung jawab, dan penundaannya menjadikan aku merasa berhutang, merasa terlambat, dan telah membuat aku merasa tidak bertanggung-jawab, adalah bukti bahwa aku masih memiliki akal sehat untuk menalar suatu penundaan. Untuk itu diri ini perlu dipecut, perlu di paksa untuk tidak selalu menunda, perlu dilatih untuk tidak selalu melihat jam demi melihat kesempatan untuk menunda-nunda. Dan yang terpenting, meski memulai sesuatu yang baru itu sulit, namun melangkahkan kaki pertama itu tetap harus dilakukan bagaimanapun kita memikirkan cara lainnya yang lebih mudah.

Keping Kelima : Ketidakpedulian

Seiring bertambahnya usia, manusia cenderung bersikap tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, tenggelam kedalam persoalan hidupnya dan persoalan pribadinya. Mungkin seperti Itulah yang kini sedang kurasakan. Berbagai permasalahan yang menghimpitku sepertinya mengalihkan pandanganku terhadap masalah sebenarnya yang seharusnya sudah kusadari. Berbagai peristiwa tahun lalu membentuk persepsiku akan realitas dan keyakinan memandang dunia. Betapa hidup ini ternyata begitu paradoks bila kita terus mempertentangkan satu hal dengan lainnya. Misalnya saja, semua manusia itu cenderung individualis (mementingkan dirinya sendiri) namun disisi lain juga membutuhkan untuk berkerumun membentuk suatu komunitas masyarakat. Apakah itu karena setiap manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri ataukah karena dengan kebersamaan memenuhi rasa aman dan bebas rasa curiga dengan sesama manusia lainnya?

Kesenanganku dalam mempertanyakan pertanyaan filosofi ternyata tidak mendekatkanku pada jawaban yang kucari. Dan akhirnya kuterjebak pada kegaduhan argumen dalam otakku sendiri yang saling bersautan, aku pun menjadi pribadi yang tidak peduli justru pada persoalan yang hakiki. Menurutku Hidup ini tidak harus dijalani seperti mengalir begitu saja, karena kita hanya memiliki waktu sekali saja maka bukankah percuma jika Cuma dilewati dengan melakukan hal-hal yang biasa saja. Aku ingin melakukan hal-hal biasa dengan jalan yang luar biasa, agar aku tidak terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Tetapi sering kali pemenuhan keinginan itu cepat menjadi suatu hal yang biasa. Aku menjadi seorang pembosan yang tidak tahu apa hal yang paling diinginkannya.

Hal lainnya yang sering membuatku menjadi pribadi yang tidak peduli adalah persepsiku atas hubungan dengan orang lain. Aku mungkin terlalu terdogma dengan falsafah balas dendam: mata ganti mata, tangan ganti tangan. Sehingga dalam setiap sikapku adalah cerminan perilaku orang lain terhadapku. Mungkin ini sikap yang tidak dewasa, untuk membalas perliaku orang lain terhadapku dengan kadar yang sama, karena realitas dalam hidup ini bukan sekedar hitam dan putih, dan kita tidak selalu mendapatkan hal yang kita inginkan hanya dengan membalas perliaku yang sama. Menurutku Bersikap baik dan tersenyum adalah suatu keharusan dalam berinteraksi dengan orang lain, namun bila lawan bicara kita tidak menghargai dan berbuat sebaliknya, maka aku cenderung bersikap tidak peduli dan kembali membalasnya dengan perilaku yang sama. Sungguh kekanak-kanakan…..

Dari sini aku belajar bahwa ketidakpedulianku terhadap sekitar justru telah membuatku acuh terhadap setiap pintu peluang yang melintas didepanku, sehingga membuatku selalu hilang kesempatan karena termakan rasa curiga. Ku sadari tidak jarang aku terjebak dalam reaksi-reaksi emosional jangka pendek terhadap masalah-masalahku, dan kehilangan pandangan rasionalitas pada keuntungan jangka panjang dari upaya memposisikan diri untuk tanggap kepada yang penting dan yang prioritas.

Keping Keenam : Sikap

Sikap kita dalam memandang dunia menentukan bagaimana masa depan datang kepada kita. Kita akan terus merasa menderita, selama kita melihat diri kita menderita. Kita akan menjadi seorang pecundang, jika kita menerima kekalahan kita sebagai kewajaran, bukan sebagai tantangan untuk memperbaiki diri. Jika sikap itu menentukan masa depan kita, maka sikap yang bagaimanakah yang harus kita miliki? Menurutku masing-masing dari kita sudah tahu jawabannya, hanya saja keberanian utuk tetap konsisten memegang sikap tersebut dalam setiap kesempatan itulah yang membuat keengganan kita untuk bertahan. Sepanjang tahun 2008, menurutku sikapku yang paling tidak produktif adalah sikap malas, terlalu menggampangkan sesuatu hal dan sikap tidak produktif lainnya. Aku sadari aku sering membandingkan diri ini dengan orang lain yang justru berada dibawah diposisiku, sehingga memberikanku alasan untuk berleha-leha dan menjadi tidak produktif lagi.

Ingatlah, Tuhan memberikan cobaan dalam hidup ini sesuai dengan kadar resisten kita sendiri-sendiri. Masalah kecil, diperuntukkan bagi orang-orang kecil. Masalah-masalah besar, diperuntukkan bagi orang-orang besar. Tidak akan ada kesalahan dalam alokasi ukuran masalah itu. Jika kita merasa sedang dihadapi permasalahan besar, itu tandanya Tuhan sedang merencanakan kita untuk menjadi orang besar. Jika kita mampu mengatasinya artinya kita telah layak untuk naik kelas, jika tidak maka kita harus mengulang ujian tersebut dilain waktu. Karena itu Hidup yang mengalir itu sungguh membosankan, karena kita tidak sempat merasakan berbagai tantangan dan gelombang dalam hidup yang dapat membentuk dan mengembangkan karakter kita lebih baik lagi.

Dari sini aku belajar bahwa Hidup itu harus Besar, Luas, Hebat dan Bermanfaat bagi Orang Lain. Kongkritnya dalam melakukan hal itu tiada lain adalah menjadi orang sukses. Sukses bukan dari segi materi tetapi juga tingkat kualitas pribadi dan tingkat keimanan. Kesuksesan itu dilahirkan dari sikap, dimulai dengan usaha yang gigih dan ditutup dengan pola pikir positif. Berbahagialah kita semua jika dalam memulai perjalanan menuju kesuksesan dalam hidup kita dimulai dari situasi yang tidak kondusif. Entah karena penolakan keluarga, kekurangan modal, ketidakpercayaan diri, lemahnya fisik, dan alasan-alasan lainnya. Karena Kesukesan dari dimulai dari ketidakmampuan diri itu namanya adalah sukses sejati, karena kita bisa merubah keadaan tersebut menjadi jauh lebih baik. Jika kita dilahirkan dari lingkungan yang serba mendukung dan dilengkapi oleh berbagai fasilitas, maka menjadi sukses itu bukanlah suatu pilihan, melainkan sesuatu yang wajar. Justru jika dengan segala sarana tersebut kita malah gagal maka itulah yang dinamakan kebodohan (kecerobohan)….

Sebagai penutup, Ini adalah penggalan kisah dari Mario Teguh untuk kita renungi bersama maknanya:

Seandainya semua kemenangan dalam permainan kartu ditentukan oleh kualitas kartu yang dipegang oleh seseorang, maka teknik paling penting dalam permainan kartu adalah teknik membagi kartu - bukan memainkannya. Lalu, segera setelah seseorang menerima pilihan kartu yang buruk, dia harus segera menyerah. Dan rekannya yang mendapatkan pilihan kartu yang baik - harus segera melompat berdiri dan mengumumkan kemenangannya.Tetapi apakah memang begitu?

Kemenangan dalam kehidupan ini, persis seperti permainan kartu -yaitu, bukan kartu yang Anda pegang yang menentukan kemenangan Anda, tetapi bagaimana Anda memainkan kartu apa pun yang ada pada Anda. Kualitas yang prima tidak menjamin keberhasilan bagi siapa pun, tetapi penggunaan yang bersungguh-sungguh dari kualitas apa pun yang kita miliki - itu lah jalan terbaik menuju jaminan yang Anda inginkan.