07 Januari 2009

Catatan Awal Tahun

Ini adalah beberapa hal yang kupelajari selama tahun 2008 :

Keping Pertama : Takdir

Selama ini aku mengharapkan takdir akan datang menjemputku, meminangku dan membawaku ketempat yang aku tuju. Di suatu masa di masa depan yang berkilau dan indah. Maka aku menunggu dan menunggu, atas nama harapan kutunggui takdirku didepan pintu asaku. Dan setelah bertahun-tahun ku tunggu, takdir itu tak kunjung datang membawa berita kedatangannya. Aku baru saja menyadari, bahwa apa yang kulakukan hanyalah lamunan seorang pemalas yang mengharapkan surga menghibahkan mukzizatnya didepan pintu rumahku tanpa harus ku keluar rumah disengat matahari terik. Dan aku menyesal, menyesali kebodohanku menunggui yang tak ada, menyembelih waktuku pada penantian yang percuma dan sia-sia.

Dari sini aku belajar, dan baru menyadari arti kata pepatah : “kita harus melakukan apa yang kita harus lakukan, sampai takdir mengungkap jalannya”. Aku ingat kata-kata ini entah dari buku mana yang ku baca, namun baru kini aku menyelami maknanya. Sebetulnya aku sudah tahu bahwa takdir itu adalah lembaran kosong dalam waktu, dimana kita bebas menuliskan apa saja, mencoret-coretnya atau malah mendiamkannya (seperti yang telah kulakukan selama ini). Kita tidak pernah tahu bagaimana takdir dan nasib membentuk masa depan kita, dan karena itu pula kita juga tidak bisa mengharapkan yang terbaik selalu datang menjemput kita. Jika tak ada satupun manusia yang bisa memesan takdirnya di masa depan, maka perbuatan pasrah dan menunggu sebenarnya adalah perbuatan konyol, lebih konyol daripada peribahasa pungguk merindukan rembulan.

Seharusnya yang kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita agar apapun takdir yang akan datang kehadapan kita, kita bisa lebih matang menghadapinya. Seperti kata Mario Teguh, kita pantas mendapatkan masa depan apapun yang kita inginkan, jika saja kita juga memantaskan diri kita menerima masa depan tersebut. Dalam agama ditegaskan bahwa kata pasrah itu menjadi halal dilakukan bila segala daya upaya telah kita upayakan untuk mengejar tujuan kita. Bersikap pasrah, menerima apa adanya takdir yang disajikan dihadapan kita tanpa berbuat sesuatu dalam persiapannya, menurutku adalah sikap yang tidak pantas bagi seseorang yang dalam setiap doanya memohonkan masa depan yang hebat, besar dan bersinar.

Dari sini aku belajar, dan menyatakan pada diriku sendiri agar tidak boleh ada lagi lembar kosong yang terobek sia-sia oleh waktu tanpa kuisi dengan perbuatan yang berguna demi menjemput tadir yang kuingini. Semoga tekad ini bisa tetap kujaga kibarnya di waktu hidupku. Toh pada akhirnya, kita akan lebih menyesali perbuatan-perbuatan yang seharusnya kita lakukan tapi tidak kita lakukan, daripada menyesali perbuatan-perbuatan salah yang kita telah kita perbuat. Waktu itu tidak terbatas, tapi waktu kita didunia ada batasnya. Karena itu sebaiknya kita pergunakan waktu yang kita tak tahu dimana akhirnya ini benar-benar berguna, agar tidak ada penyesalan lagi diujung nafas kita kelak (karena penyesalan sesudah itu tidak bisa kita perbaiki lagi begitu kita meninggalkan dunia fana ini).

Keping Kedua : Impian

Bagaimanakah kita mendefinisikan impian ? aku sendiri berpendapat, impian itu adalah batu bara yang membakar semangat kita, kompas yang menentukan arah langkah kita dan jangkar yang membuat kita tetap berlabuh ketika didera ombak-ombak cobaan kehidupan. Impian setiap orang itu pasti berbeda satu dengan lainnya, namun secara garis besar ia harus lebih besar dan lebih hebat daripada keadaan kita sekarang dan untuk mencapainya dibutuhkan perjuangan ekstra, bukan sekedar “walking in the park”.

Lalu seberapa jauhkah impianku kini membawaku? Bila kupikirkan lebih dalam maka jawabannya adalah “tidak kemana-mana”. Yang aku sadari kini impian-impian yang kutulis dengan tinta emas dalam lubuk hatiku dulu, kini masih sama, hanya saja semakin kusam tertutup berbagai persoalan hidup kemudian semakin tenggelam terlupakan waktu. Lalu apa yang telah kulakukan agar aku bisa menarik impian itu dari tidur malamku kedalam kesadaranku? Mungkin jawabannya adalah tidak ada!! Aku sedih dan menyesal, lalu merenungi apa salahku. Apakah impianku terlalu besar hingga tak kuat untuk digantungkan di langit malamku? Ataukah aku kurang berusaha membangun anak tangga guna menggapainya?

Yang tidak kusadari mungkin adalah kekalahanku memegang teguh impianku dari kata hatiku sendiri, sehingga aku mudah terbuai dan terbujuk oleh alasan-alasan penunda keberhasilanku kemudian memasrahkannya pada takdir belaka. Aku mungkin terlalu mudah teralihkan, sehingga impianku sendiri menjadi terabaikan. Dan ketika impian-impian itu menagih janjinya padaku, yang ku utarakan hanyalah alasan demi alasan pemaaf mengapa aku belum bisa memulainya. Kemudian tanpa kusadari itu menjadi kebiasaan yang terlatih, sehingga akupun menutupi kekecewaanku itu dengan impian-impian lainnya dan begitu seterusnya. Dan akhirnya ia menjadi hilang tingkat kesakralannya, menguap menyisakan abu yang bernama “lamunan”, yang begitu mudahnya terbang bila tertiup angin semilir.

Dari sini aku belajar, bahwa impian itu harus kongkrit, terarah dan tegas. Kita tidak bisa hanya mengatakan impianku adalah menjadi orang sukses. Menanamkan sugesti seperti itu hanya akan membuat hidup kita tidak terarah, karena ukuran sukses itu berbeda-beda dan multi tafsir. Sehingga pada akhirnya ketika tenggat waktu impian tersebut hampir habis, kita dihadapkan pada realitas yang membingungkan kita sendiri. Dan akhirnya kita diharuskan menerima kenyataan tersebut sebagai buah impian kita dulu, yang dalam hati kecil kita menganggap impian tersebut telah terwujud dalam skala “bonsai”, lalu kita pun beralasan, toh setidaknya impian tersebut sudah terwujud….. seperti itukah yang kita inginkan? Seberapa besar kita menginginkan impian kita itu terwujud menentukan seberapa jauh batas perbedaannya antara impian kita dan lamunan belaka. Jika Impian itu cenderung bersifat abstrak maka realisasinya pun dipastikan tidak kongkrit atau “tergantung suasana hati kita menginginkannya”. Oleh karena itu pula banyak impian-impian kita yang menjadi sekedar lamunan belaka, ketika kita menyadari gurun pasir beserta badainya yang harus kita lalui demi menebusnya. Dan akhirnya kita pun rela menukar impian mulia kita tersebut dengan ukuran yang lebih kecil, jauh lebih kecil sesuai dengan tingkat kenyamanan kita mencapainya.

Keping Ketiga : Tekad

Tekad adalah tangan-tangan yang menjalankan perintah impian-impian kita. Ia adalah api yang menyala dari hasrat impian kita untuk menerangi jalan gelap yang ada di depan kita. Tekad itu tidak berwujud bila kita sendiri tidak tahu apa yang kita inginkan. Sepanjang tahun 2008 ini aku telah memikirkan sejumlah kemajuan dibanding tahun sebelumnya, dan kesimpulannya adalah tidak jauh lebih bermutu dari tahun-tahun sebelumnya. Aku selalu terjebak dipermasalahan yang sama, yang sesungguhnya menjemukan untuk diceritakan karena begitu seringnya aku mengulangi kesalahan ini. Masalah itu adalah, apa tekad sejatiku dalam hidup ini? Suatu pertanyaan yang menjeratku berulang kali karena ada begitu banyak variasi jawaban yang sudah kukemukakan. Aku adalah ibarat seseorang yang pergi melaut dengan sebuah kapal, dan kemudian berhenti ditengah tengah untuk menemukan arti bahwa aku sebetulnya telah tersesat. Aku tersesat karena aku sendiri tidak mengetahui kemana tujuanku berada, aku hanya terombang ambing kesana kemari oleh ombak dan tidak mengerti membaca posisi. Bagiku impianku itu nyata dan ada diluar sana, namun ia begitu abstrak sehingga jalan yang harus kulalui itu aku sendiri tidak tahu ada dimana. Lalu kemanakah tekad ini harus membakar semangatku untuk mengayuh, dan bila kupikirkan lagi, bagaimana mungkin aku bisa tersesat jika aku sendiri tidak bisa mengetahui arah pelabuhan terdekat yang ingin kutuju.

Hidup ini ibarat lautan lepas yang bisa mengayunkan berbagai kemungkinan. Dan jika kapal yang kita naiki ini adalah waktu hidup kita, alangkah sia-sianya hidup ini jika dihabiskan untuk terombang ambing mengikuti arus, yang pada akhirnya tidak membawa kita kemana-mana. Betapa sia-sianya jika kita tidak sempat melihat kehebatan petualangan-petualangan yang mampu ditawarkan oleh kehidupan ini, sehingga kelak kita bisa bercerita dengan mata berbinar-binar. Seperti kata pepatah, ”Bagi yang sedang tenggelam, gerakan apa pun selain gerakan tenggelam adalah pilihan yang lebih baik”. Aku dan pilihanku sudah terbukti keliru. Aku terlalu banyak terlena oleh angin laut yang mengalihkan tujuanku dan begitu terbuai oleh ombak yang mendayu-dayu mengayunkan perahuku kekiri dan kekanan. Seharusnya aku sadar sedari dulu, bahwa jika aku terlalu santai menikmati kehidupan yang tersaji dihadapanku, maka aku takkan siap menghadapi badai yang sering datang tiba-tiba. Itulah sebabnya aku selalu tercebur dan nyaris tenggelam dalam setiap badai yang menerjang, kemudian bangkit dan selalu bertanya-tanya mengapa sampai tenggelam.

Tekad dalam hatiku menjadi lemah untuk diuji dengan pahit getir kehidupan, karena aku lebih sering mempertanyakan tujuan, beretorika dalam monolog batin, mengkonfrontir tujuan hidupku sendiri alih-alih segera keluar dari air dan segera mendayung perahu. Aku sering kali menertawakan dalam hati kecilku sebuah falsafah jawa yang berbunyi ”alon-alon waton kelakon”. Namun tanpa kusadari aku malah termakan filosofi itu. Seperti kata andri wongso, ”jika anda tidak keras terhadap kehidupan, kehidupan akan keras terhadap anda”. Aku sedari dulu mengerti arti kata itu, namun untuk menjabarkannya kedalam aksi ternyata lebih banyak pertentangannya dari dalam diri. Betapa memaksa diri untuk keluar dari ”comfort zone”, bertempur berdarah-darah untuk menemukan diri sendiri masih gagal itu sungguh lebih berat jika dibayangkan. Dan akhirnya, kita ( dan terutama aku) lebih sering mengabaikan nasehat-nasehat orang dengan dalih itu belum tentu bisa diterapkan. Aku sering lupa, bahwa menyibukkan diri menganalisis persoalan tidak memabawaku kemana-mana kecuali segera bergerak kemana saja dengan sisa tekad untuk segera keluar dari lubang masalah tersebut.

Dari sini aku belajar, bahwa untuk mencapai impian kita itu tidak harus mengerti arah pasti yang harus dituju. Arah tujuan tidak harus sempurna dan perbuatan kita tidak harus sesempurna mungkin. Menjadi perfeksionis tanpa cela hanya menuntun kita untuk tidak berbuat apa-apa, menonton pertunjukan kehidupan dari sisi penonton lalu berkomentar ini-itu seolah-olah kita bisa melakukannya dengan lebih baik. Betul jika hidup itu harus hebat dan bersinar namun mengejar kepuasan dengan berbuat sesempurna mungkin sering kali membuat kita menderita, bukan saja karena kesalahan yang diperbuat, namun juga lebih karena kita merasa lebih sering berbuat kesalahan daripada yang benar. Lalu aku belajar, tahun ini aku akan berbuat lebih banyak, melakukan aksi lebih banyak tanpa khawatir jika kala-kalau seandainya. Berbuat kesalahan itu tidak lebih dari bergabung dengan umat manusia, dan mengambil pelajaran darinya adalah satu poin tambahan yang mampu mengangkat harga diri kita dan membedakan diri kita dengan sisa manusia lainnya.

Keping Keempat : Alasan Penunda

Menunda-nunda pekerjaan sama artinya menunda datangnya keajaiban kedalam kehidupan kita. Penundaan satu pekerjaan adalah pemotongan satu waktu senggang kita di esok hari. Penundaan adalah racun bagi semangat kita dan jelaga yang menutupi hati kita dari pengupayaan keberhasilan. Ada begitu banyak alasan untuk berhenti menunda-nunda namun mengapa banyak dari kita masih menyimpan kebiasaan ini dalam hati kita. Aku sendiri adalah salah satunya. Sedemikian akutnya penyakit ini menjangkit hatiku kini, hingga menjadi borok yang selalu mengalihkan perhatianku melihat kesempatan-kesempatan baru. Hingga kini selalu menjadi kambing hitam yang kupersalahkan ketika doa-doaku tak kunjung terjawab. Betapa aku muak dengan kebiasaan ini namun di sisi lain begitu susahnya membuangnya. Apakah ini sudah menjadi penyakit menahun yang kini membentuk jati diriku ataukah keenggananku sendiri adalah alasannya?

Yang jelas, penundaan adalah biang keladi atas segala kerepotan yang menimpaku ketika tenggang waktu suatu pekerjaan semakin menghimpit. Penundaan adalah penyumbang terbesar atas kegagalanku dalam mencapai sesuatu dan mungkin merupakan kesalahan terbesarku sepanjang hidupku. Kadang akupun berseloroh, bahwa justru karena penundaan ditambah faktor deadline itulah yang membuat adrenalinku menyembur dan mengalirkan ide-ide yang sebelumnya buntu. Tentu ini benar jika dalam keadaan darurat, namun masalahnya jika untuk setiap urusan diharuskan melalui ritual penundaan ini, bukankah efeknya bisa seperti efek domino? Akhirnya aku juga yang menjadi kelelahan. Kadang aku berpikir bahwa penundaan itu ibarat waktu istirahat sejenak yang dibayar dimuka, namun jika keterusan maka bunganya bisa mencekik dan bila sudah jatuh tempo tidak segera dikompensasikan bisa menyebabkan kolaps. Disitulah letak perangkapnya, jika jiwa sudah merasakan enaknya waktu senggang (waktu istirahat) sungguh sulit jika harus kembali bekerja, kemudian hatipun berkata “mengapa tidak berleha-leha dulu saja….”

Dari sini aku belajar, bahwa untuk mengatasi sifat menunda-nunda ada dua kunci utama. Pertama adalah Tekad untuk berubah disertai akal yang selalu mengakar pada realitas, bahwa penundaan di masa sekarang adalah dua kali waktu sibuk di esok hari. Kedua adalah disiplin untuk selalu menunaikan urusan terlebih dahulu baru pantas mendapatkan waktu senggang / waktu istirahat. Melakukanlah sesuatu yang selama ini telah aku ketahui harus aku lakukan adalah bagian dari rasa tanggung jawab, dan penundaannya menjadikan aku merasa berhutang, merasa terlambat, dan telah membuat aku merasa tidak bertanggung-jawab, adalah bukti bahwa aku masih memiliki akal sehat untuk menalar suatu penundaan. Untuk itu diri ini perlu dipecut, perlu di paksa untuk tidak selalu menunda, perlu dilatih untuk tidak selalu melihat jam demi melihat kesempatan untuk menunda-nunda. Dan yang terpenting, meski memulai sesuatu yang baru itu sulit, namun melangkahkan kaki pertama itu tetap harus dilakukan bagaimanapun kita memikirkan cara lainnya yang lebih mudah.

Keping Kelima : Ketidakpedulian

Seiring bertambahnya usia, manusia cenderung bersikap tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, tenggelam kedalam persoalan hidupnya dan persoalan pribadinya. Mungkin seperti Itulah yang kini sedang kurasakan. Berbagai permasalahan yang menghimpitku sepertinya mengalihkan pandanganku terhadap masalah sebenarnya yang seharusnya sudah kusadari. Berbagai peristiwa tahun lalu membentuk persepsiku akan realitas dan keyakinan memandang dunia. Betapa hidup ini ternyata begitu paradoks bila kita terus mempertentangkan satu hal dengan lainnya. Misalnya saja, semua manusia itu cenderung individualis (mementingkan dirinya sendiri) namun disisi lain juga membutuhkan untuk berkerumun membentuk suatu komunitas masyarakat. Apakah itu karena setiap manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri ataukah karena dengan kebersamaan memenuhi rasa aman dan bebas rasa curiga dengan sesama manusia lainnya?

Kesenanganku dalam mempertanyakan pertanyaan filosofi ternyata tidak mendekatkanku pada jawaban yang kucari. Dan akhirnya kuterjebak pada kegaduhan argumen dalam otakku sendiri yang saling bersautan, aku pun menjadi pribadi yang tidak peduli justru pada persoalan yang hakiki. Menurutku Hidup ini tidak harus dijalani seperti mengalir begitu saja, karena kita hanya memiliki waktu sekali saja maka bukankah percuma jika Cuma dilewati dengan melakukan hal-hal yang biasa saja. Aku ingin melakukan hal-hal biasa dengan jalan yang luar biasa, agar aku tidak terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Tetapi sering kali pemenuhan keinginan itu cepat menjadi suatu hal yang biasa. Aku menjadi seorang pembosan yang tidak tahu apa hal yang paling diinginkannya.

Hal lainnya yang sering membuatku menjadi pribadi yang tidak peduli adalah persepsiku atas hubungan dengan orang lain. Aku mungkin terlalu terdogma dengan falsafah balas dendam: mata ganti mata, tangan ganti tangan. Sehingga dalam setiap sikapku adalah cerminan perilaku orang lain terhadapku. Mungkin ini sikap yang tidak dewasa, untuk membalas perliaku orang lain terhadapku dengan kadar yang sama, karena realitas dalam hidup ini bukan sekedar hitam dan putih, dan kita tidak selalu mendapatkan hal yang kita inginkan hanya dengan membalas perliaku yang sama. Menurutku Bersikap baik dan tersenyum adalah suatu keharusan dalam berinteraksi dengan orang lain, namun bila lawan bicara kita tidak menghargai dan berbuat sebaliknya, maka aku cenderung bersikap tidak peduli dan kembali membalasnya dengan perilaku yang sama. Sungguh kekanak-kanakan…..

Dari sini aku belajar bahwa ketidakpedulianku terhadap sekitar justru telah membuatku acuh terhadap setiap pintu peluang yang melintas didepanku, sehingga membuatku selalu hilang kesempatan karena termakan rasa curiga. Ku sadari tidak jarang aku terjebak dalam reaksi-reaksi emosional jangka pendek terhadap masalah-masalahku, dan kehilangan pandangan rasionalitas pada keuntungan jangka panjang dari upaya memposisikan diri untuk tanggap kepada yang penting dan yang prioritas.

Keping Keenam : Sikap

Sikap kita dalam memandang dunia menentukan bagaimana masa depan datang kepada kita. Kita akan terus merasa menderita, selama kita melihat diri kita menderita. Kita akan menjadi seorang pecundang, jika kita menerima kekalahan kita sebagai kewajaran, bukan sebagai tantangan untuk memperbaiki diri. Jika sikap itu menentukan masa depan kita, maka sikap yang bagaimanakah yang harus kita miliki? Menurutku masing-masing dari kita sudah tahu jawabannya, hanya saja keberanian utuk tetap konsisten memegang sikap tersebut dalam setiap kesempatan itulah yang membuat keengganan kita untuk bertahan. Sepanjang tahun 2008, menurutku sikapku yang paling tidak produktif adalah sikap malas, terlalu menggampangkan sesuatu hal dan sikap tidak produktif lainnya. Aku sadari aku sering membandingkan diri ini dengan orang lain yang justru berada dibawah diposisiku, sehingga memberikanku alasan untuk berleha-leha dan menjadi tidak produktif lagi.

Ingatlah, Tuhan memberikan cobaan dalam hidup ini sesuai dengan kadar resisten kita sendiri-sendiri. Masalah kecil, diperuntukkan bagi orang-orang kecil. Masalah-masalah besar, diperuntukkan bagi orang-orang besar. Tidak akan ada kesalahan dalam alokasi ukuran masalah itu. Jika kita merasa sedang dihadapi permasalahan besar, itu tandanya Tuhan sedang merencanakan kita untuk menjadi orang besar. Jika kita mampu mengatasinya artinya kita telah layak untuk naik kelas, jika tidak maka kita harus mengulang ujian tersebut dilain waktu. Karena itu Hidup yang mengalir itu sungguh membosankan, karena kita tidak sempat merasakan berbagai tantangan dan gelombang dalam hidup yang dapat membentuk dan mengembangkan karakter kita lebih baik lagi.

Dari sini aku belajar bahwa Hidup itu harus Besar, Luas, Hebat dan Bermanfaat bagi Orang Lain. Kongkritnya dalam melakukan hal itu tiada lain adalah menjadi orang sukses. Sukses bukan dari segi materi tetapi juga tingkat kualitas pribadi dan tingkat keimanan. Kesuksesan itu dilahirkan dari sikap, dimulai dengan usaha yang gigih dan ditutup dengan pola pikir positif. Berbahagialah kita semua jika dalam memulai perjalanan menuju kesuksesan dalam hidup kita dimulai dari situasi yang tidak kondusif. Entah karena penolakan keluarga, kekurangan modal, ketidakpercayaan diri, lemahnya fisik, dan alasan-alasan lainnya. Karena Kesukesan dari dimulai dari ketidakmampuan diri itu namanya adalah sukses sejati, karena kita bisa merubah keadaan tersebut menjadi jauh lebih baik. Jika kita dilahirkan dari lingkungan yang serba mendukung dan dilengkapi oleh berbagai fasilitas, maka menjadi sukses itu bukanlah suatu pilihan, melainkan sesuatu yang wajar. Justru jika dengan segala sarana tersebut kita malah gagal maka itulah yang dinamakan kebodohan (kecerobohan)….

Sebagai penutup, Ini adalah penggalan kisah dari Mario Teguh untuk kita renungi bersama maknanya:

Seandainya semua kemenangan dalam permainan kartu ditentukan oleh kualitas kartu yang dipegang oleh seseorang, maka teknik paling penting dalam permainan kartu adalah teknik membagi kartu - bukan memainkannya. Lalu, segera setelah seseorang menerima pilihan kartu yang buruk, dia harus segera menyerah. Dan rekannya yang mendapatkan pilihan kartu yang baik - harus segera melompat berdiri dan mengumumkan kemenangannya.Tetapi apakah memang begitu?

Kemenangan dalam kehidupan ini, persis seperti permainan kartu -yaitu, bukan kartu yang Anda pegang yang menentukan kemenangan Anda, tetapi bagaimana Anda memainkan kartu apa pun yang ada pada Anda. Kualitas yang prima tidak menjamin keberhasilan bagi siapa pun, tetapi penggunaan yang bersungguh-sungguh dari kualitas apa pun yang kita miliki - itu lah jalan terbaik menuju jaminan yang Anda inginkan.

1 komentar:

l@ mengatakan...

terima kasih, di awal tahun sudah mendapat pencerahan. suses untuk adhit.